Jadikan Media Sosial sebagai Sarana Membangun Toleransi
Batang – Keberaadan media sosial hendaknya bisa dijadikan sebagai sarana membangun toleransi, termasuk di kalangan generasi milenial yang tidak bisa lepas dari perangkat digitalnya.
Harapan ini disampaikan Slamet Budiyono, Kepala MAN 1 Surakarta, saat menjadi narasumber webinar literasi digital yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk masyarakat Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Selasa (27/7/2021).
Webinar kali ini bertema “Membangun Toleransi Beragama Melalui Media Sosial”. “Toleransi intern umat beragama adalah sikap atau tindakan dengan cara saling menghargai dan menghormati antar internal pemeluk seagama (Islam) terkait dengan pengamalan-pengamalan yang didasari atas kebenaran yang sesuai dengan pemahannya dalam batas-batas tertentu,” kata Slamet.
Pria kelahiran Wonogiri yang tinggal di Sleman itu menjelaskan toleransi juga bermakna sikap membebaskan dan memberi keleluasaan terhadap penganut agama lain berupa sikap atau perilaku yang harus dimunculkan ketika berhadapan dengan kenyatan yang ada.
Sejak zaman Rasulullah SAW, lanjut Slamet, toleransi sudah dibangun secara kuat. Ini ditandai dengan adanya Piagam Madinah, yang memuat perjanjian dengan kaum Nasrani, Yahudi, Majusi dan musyrikin (penyembah berhala), di dalamnya berisi kesepakatan yang mengatur tata kehidupan yang plural dan penuh toleransi.
Kemudian, Perjanjian Hudaibiyah, adalah perjanjian antara Rasulullah SAW dengan kafir Quraisy di mana Rasulullah berkenan menunda pelaksanaan ibadah umrah pada tahun berikutnya. Ini adalah akhlak toleransi Islam untuk menghindari pertumpahan darah.
Begitu pula, kaum Muslimin saat menduduki kota Mekah tidak setetes darah pun keluar karena dendam. Bahkan Rasulullah SAW memberikan pilihan bijak kepada kaum kafir Quraisy untuk ke Masjidil Haram atau ke rumah Abu Sufyan atau ke rumah masing-masing atau masuk Islam dengan ikhlas.
Saat berdirinya NKRI, lanjut dia, founding father (tokoh Islam) merelakan negara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dan merelakan naskah Pancasila pada Pembukaan UUD 1945 dirubah dengan menghilangkan 7 kata sehingga berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa.
“Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, maka orang tidak pernah tanya apa agamamu,” ujar Slamet mengutip pernyataan yang pernah disampaikan KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Narasumber lainnya, Ketua Program Studi Perpustakaan FIB Universitas Indonesia (UI), Taufik Asmiyanto, menyebutkan adanya kelemahan budaya digital. Fakta dan hoaks sering bercampur sehingga sulit membedakan secara jelas bahwa informasi itu apakah fakta, hoaks atau justru fiksi. Dampak negatifnya baru bisa disadari setelah terjadi dan viral.
Dia berpesan jangan karena media sosial pikiran, waktu dan energi dihabiskan untuk urusan diri dan dunia. “Budaya digital membuat kehidupan pribadi kita transparan, rentan terhadap segala macam manipulasi,” kata dia.
Dipandu moderator Zacky Ahmad, webinar juga menghadirkan narasumber Mukhammad Nur Kholis (Kasi Kelembagaan Kantor Kementerian Agama Provinsi Jawa Tengah), Dahlia (Dosen STAI Al Husain dan Ade Ayu (Aktris) sebagai Key Opinion Leader. (*)
Post a Comment