Internet Jadi Referensi Tunggal, Bahaya
Jepara – Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Achmad Uzair, menyatakan kehadiran mesin pencari google membuat orang lebih mudah mengakses informasi. Namun demikian dia mengingatkan jangan sepenuhnya bergantung mesin itu karena tidak setiap informasi yang tersedia mengandung kebenaran.
“Bahaya ketika internet menjadi referensi tunggal,” ungkapnya saat menjadi narasumber webinar literasi digital yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk masyarakat Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, Senin (27/9/2021).
Doktor bidang International Relations and History lulusan Flinders University South Australia ini menambahkan, maka benar apabila Tom Nichols menyatakan kehadiran internet sebagai matinya kepakaran.
Ini karena informasi yang benar hanya sebesar 10 persen. Akibatnya, jika sudah mengandalkan informasi dari internet banyak orang merasa pintar sendiri. “Nggak mau dialog dengan orang lain atau bertanya ke ahli di sekitarnya. Bahaya,” tandasnya.
Diakui, memang internet memberi akses pada informasi yang lebih luas daripada model pembelajaran sebelumnya. Faktanya dari hasil survei Maverick Solusi Komunikasi (2020) diketahui generasi muda tidak lagi menjadikan koran atau buku sebagai rujukan berita, melainkan melalui media sosial. Lebih dari 80 persen mendapatkan berita dari Instagram, hampir 80 persen dari youtube, selebihnya 60 persen dari twitter.
Menurut Achmad, meski karakternya terlihat sangat demokratis karena menyediakan platform yang terbuka untuk semua kalangan, namun demikian media sosial juga memiliki sisi gelap.
Ini terjadi karena tidak mensyaratkan penulis dan publikasinya memiliki kualifikasi tertentu dan melalui proses editorial yang ketat seperti halnya media massa konvensional atau sekarang disebut legacy media.
Kondisi seperti itu merupakan bagian dari tantangan digitalisasi di mana 30-60 persen warga Indonesia terpapar hoaks, tetapi hanya 21-36 persen yang mampu mengenalinya.
Mereka yang rentan terpapar hoaks umumnya tinggal di perkotaan pulau Jawa, memiliki akses internet yang mudah dan murah. Semakin sering penggunaan internet, semakin besar kemungkinan meneruskan berita palsu.
Narasumber lainnya, Anggraini Hermana, menyebutkan dilansir dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, sejarah internet Indonesia dimulai pada awal tahun 1990-an.
Saat itu, internet disebut dengan istilah Paguyuban Network. Istilah ini dipilih karena pada saat itu semangat kerja sama, kekeluargaan dan gotong royong sangat kental di antara para pengembang internet.
“Seiring berjalannya waktu, penggunaan internet menjadi individualis dan sangat komersial karena internet mulai diperjualbelikan di Indonesia,” kata dia.
Berbicara mengenai mutu pendidikan di Indonesia, praktisi pendidikan ini mengatakan dari survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia.
Data yang dilaporkan oleh The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia.
Itulah sebabnya Anggraini menegaskan pentingnya dilakukan peningkatan dan pemerataan literasi digital. Dia teringat, anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Doni Koesoema Albertus pernah mengatakan di kota-kota besar, kualitas pendidikan sudah baik dan bisa menyaingi negara-negara di Asia.
Namun yang di pelosok dan pinggiran umumnya masih terdapat perbedaan kualitas, terutama sarana prasarana pendidikan dan kualitas guru, sehingga prestasi belajar siswa pun juga timpang.
Seiring perkembangan zaman yang semakin pesat, terutama di bidang teknologi, informasi, komunikasi, dunia digital mampu mengubah konteks dan tantangan pendidikan.
Anggraini menyarankan sebaiknya guru dan siswa pandai beradaptasi dan cakap digital yaitu pandai mengoperasikan perangkat digital. Bersahabat dengan jaringan internet memiliki banyak manfaat di antaranya piawai dalam berselancar sehingga dapat menemukan ide-ide kreatif dan inovatif.
Selain itu, rajin mencari referensi agar kegiatan belajar dan mengajar (KBM) menyenangkan dan tidak membosankan. “Mari kita majukan pendidikan di Indonesia dengan menciptakan pendidikan yang lebih bermutu dengan beradaptasi terhadap transformasi digital,” ajaknya.
Dipandu moderator Zacky Ahmad, webinar bertema Transformasi Digital untuk Pendidikan yang Lebih Bermutu ini juga menghadirkan narasumber Dewi Bunga (Doen UHN IGB Sugriwa Denpasar - IAPA), Arif Hidayat (Dosen Universitas Negeri Semarang), Dian Kristiandi (Bupati Kabupaten Jepara) sebagai Keynote Speaker, Ganjar Pranowo (Gubernur Provinsi Jawa Tengah) sebagai Keynote Speaker dan Brigita Ferlina (News Presenter) sebagai Key Opinion Leader. (*)
Post a Comment