Hati Hati Torehkan Jejak Digitalmu
KENDAL: Editor yang juga penggiat literasi media Heru Prasetia menyoroti bagaimana saat ini sebagian pengguna ruang digital masih kurang mempedulikan akan jejak digital dari konten negatif yang mereka torehkan bisa membawa dampak buruk di kemudian hari.
"Memang benar, jejak yang kita lakukan di ruang digital mungkin masih bisa dibersihkan, namun ingat, tidak semua jejak itu menjadi hilang karena di ruang digital ada data cadangan yang tersisa dan kapan saja bisa ditarik kembali," kata Heru saat menjadi narasumber dalam webinar literasi digital bertema ”Dalami Agama di Dunia Maya” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, Kamis (5/8/2021).
Heru mengatakan dalam sistem ruang digital jejak kita selalu terekam selamanya dan bakal tersimpan. Ia pun meminta pengguna waspada berhati-hati ketika melakukan sesuatu di dunia digital terlebih menorehkan sesuatu yang buruk atau negatif.
"Misalnya memberi komentar negatif saat mengakses media sosial, hal seperti ini bisa menjadi Harimaumu di masa datang, jejak digital bisa membawa sial," tegas Heru.
Heru menyarankan para pengguna media digital meminimalisir terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan demu melindungi jejak digitalnya. Salah satunya tidak mengumbar data pribadi.
"Biasakan batasi jenis data pribadi, jangan diumbar, jangan sekali-kali mengunggah informasi sensitif atau data pribadi seperti KTP, SIM, Paspor, PIN dan lainnya di media sosial," kata Heru.
Di satu sisi, penting untuk menyediakan diri membaca berbagai syarat dan ketentuan aplikasi, media sosial yang kita gunakan sehari-hari.
Maksudnya, ketika ada opsi untuk tidak merekam jejak digital dan membagikannya ke pihak ketiga, pengguna bisa memilih opsi tersebut agar jejak digitalnya aman.
Heru mengingatkan tiap tweet yang diposting di Twitter, setiap pembaruan status yang dipublikasikan di Facebook, dan setiap foto yang dibagikan di Instagram berkontribusi pada jejak digital pengguna.
"Makin banyak interaksi di ruang digital, makin banyak juga jejak digital yang dibuat," kata Heru.
Tak hanya jejak digital. Heru menegaskan bahwa media sosial juga memiliki algoritma yang membuat terjadinya echo chamber atau ruang gema yang berbahaya dalam konteks menjaga ruang digital tetap sehat.
Lebih-lebih saat banyak orang kini menjadikan media sosial sebagai rujukan utama dalam mencari informasi.
Era digital dan globalisasi meniadakan berbagai batasan namun satu sisi juga perlahan membuat ruang-ruang pribadi dalam komunitas majemuk di dunia maya yang berisi warganet yang memiliki pemikiran dan keyakinan yang sama dan cenderung membicarakan hal yang senada.
"Inilah Echo Chambers atau fenomena terciptanya sekat-sekat antar satu komunitas," kata Heru.
Di sisi lain, saat Echo Chambers ini terjadi, algoritma media sosial berperan merekomendasikan berbagai grup, tayangan, dan berita sesuai dengan yang sering diakses.
Narasumber lain webinar, Nuzran Joher yang juga Anggota Komisi Kajian Ketenagakerjaan MPR RI mengatakan maraknya konten negatif di media sosial karena salah satunya belum terbangunnya literasi digital di kalangan netizen Indonesia.
"Tanpa literasi itu, orang belum terbiasa berekspresi dengan benar, karena selama ini diredam, kulturnya kaget. Kita semua euforia teknologi, euforia kebebasan," tegas Nusran.
Nusran pun berpendapat literasi digital memang tidak akan serta merta membuat berita bohong berkurang. Tapi membuat pengguna lebih banyak sadar dan tak berminat lagi membuat berita bohong.
"Ingatlah, bahwa satu kunci keberhasilan pembangunan Indonesia adalah menciptakan lebih banyak konten positif, yang dapat mempengaruhi perubahan perilaku masyarakat ke arah lebih baik," pungkas Nusran.
Webinar yang dipandu oleh moderator Triwi Dyatmoko itu turut menghadirkan narasumber seperti Ahmad Wahyu Sudrajad (dosen UNU Yogyakarta) dan Mahrus (Kepala Kantor Kemenag Kendal), dan presenter TV Putri juniawan selaku key opinion leader. (*)
Post a Comment