Ciptakan Diruptive Social Media, Jauhi Destructive Social Media
Yogyakarta – Pola masyarakat dalam berkomunikasi dan memperoleh informasi kini telah terdisrupsi dengan kehadiran media sosial. Pola komunikasi konvensional yang searah, kini digantikan dengan model komunikasi yang lebih bebas, interaktif, dan partisipatif, seperti yang tersaji dalam konten media sosial.
Pendapat tersebut disampaikan praktisi kehumasan Akhmad Firmannamal saat menjadi narasumber dalam webinar literasi digital bertajuk ”Membangun Wawasan Positif dengan Konten yang Bertanggung Jawab” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kota Yogyakarta, pada Selasa 13 Juli 2021.
Lebih jauh, Deputi Hubungan Kelembagaan dan Kemasyarakatan Kementerian Sekretariat Negara ini menyatakan, sayangnya kemunculan media baru (media sosial) itu telah mendisrupsi sekaligus mendestruksi media sosial. ”Disruptive social media: business, education, personal branding, dan intertainment. Destructive social media: hoax, scam, cyber bullying, dan konten negatif,” urai Firman di depan peserta webinar.
Meskipun banyak manfaat positifnya, Firman menyebut media digital juga telah memberikan pandangan negatif sebagaimana dilansir Microsoft dalam surveinya yang menganggap netizen Indonesia tergolong paling tidak sopan se-Asia Tenggara. Penilaian itu didasarkan atas banyaknya hoaks dan penipuan (47 persen), ujaran kebencian dan cyber bullying (27 persen), dan diskriminasi (13 persen).
”Untuk itu literasi digital terkait etika bermedia digital perlu terus digalakkan. Dengan etika digital netizen mampu membedakan antara yang baik dan buruk, yang benar dan salah,” jelas Firman.
Selain itu, Firman berharap agar pemerintah lebih tegas lagi dalam menerapakan aturan yang berlaku. Pemeberian sanksi hukuman terhadap penyebar hoaks, pelaku perundungan, pornografi, maupun penipuan online, diharapkan mampu menjadikan netizen Indonesia lebih beradab.
Berikutnya, dosen STPMD ”APMD” Yogyakarta Fajarini Sulistyowati menyatakan agar mampu mewujudkan komunikasi yang bertanggung jawab maka masyarakat harus mampu memahami karakteristik komunikasi di dunia digital.
”Ciri komunikasi di dunia digital itu dilakukan tanpa harus tatap muka langsung, tidak mengenal batas teritorial, memungkinkan para pelaku yang berkumunikasi dan berinteraksi tidak menunjukkan identitas asli, pesan yang tersampaikan dapat diakses publik, komunikasi tanpa dibatasi ruang dan waktu,” papar Fajarini.
Selain itu, berkomunikasi yang bertanggung jawab juga membutuhkan literasi digital. Bagi Fajarini, literasi digital merupakan konsep yang mengarah pada mediasi antara teknologi dengan khalayak atau user untuk mempraktikkan teknologi digital secara produktif. Literasi digital didorong oleh tingginya pertumbuhan media yang tidak sebanding dengan kemampuan manusia untuk mengimbanginya.
Fajarini menegaskan, dengan literasi digital berarti dapat memproses berbagai informasi, dapat memahami pesan dan berkomunikasi efektif dengan orang lain sesuai aturan regulasi dan beretika. Kemudian, juga memahami kapan dan bagaimana teknologi harus digunakan agar efektif untuk mencapai tujuan.
”Dengan begitu muncul kesadaran dan berpikir kritis terhadap berbagai dampak positif dan negatif yang mungkin terjadi akibat penggunaan teknologi,” pungkas Fajarini.
Dipandu moderator Harry perdana, webinar kali ini juga menghadirkan Muhammat Taufik Saputra (fasilitator nasional), Achmad Naa’im (Guru SMA N I Sumberlawang), dan seniman Ones selaku key opinion leader. (*)
Post a Comment