Cari Komunitas yang Baik di Dunia Maya
Sleman – Tidak hanya di dunia nyata, mencari relasi maupun teman yang baik di dunia maya juga akan membawa manfaat tidak hanya bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi orang lain. Jalin pertemanan yang dilandasi etika dan norma-norma akan mempengaruhi sikap hidup netizen khususnya kalangan pelajar.
Saran ini disampaikan Dwiyanto Indiahono, Dosen Kebijakan Publik Universitas Jenderal Soedirman, saat menjadi saat menjadi narasumber webinar literasi digital yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk masyarakat Kabupaten Sleman, DIY, Senin (4/10/2021).
Baginya, menjadi milenial yang pintar jauh lebih bermanfaat karena bagaimana pun belajar adalah sebuah proses yang berlangsung tanpa henti. “Berkumpulah dengan komunitas yang Baik, maju terus dan pantang menyerah,” ucapnya pada webinar bertema ”Keterampilan yang Perlu Dikuasai Siswa dan Guru di Era Milenial”.
Menurut dia, ada banyak strategi untuk menanggapi peluang, sekaligus ancaman pada era digital sekarang ini. Seorang guru bisa dengan cara menciptakan budaya belajar mengasyikkan di dunia digital sehingga mampu mendidik siswa-siswanya menjadi netizen ramah di dunia maya yang dampaknya juga dirasakan masyarakat di dunia nyata.
Merujuk pada hasil survei, dia menggambarkan warga digital saat ini didominasi Generasi Z. Mereka adalah warga negara kelahiran 1997-2012 berusia 8 - 23 tahun. Jumlahnya mencapai 27,94 persen.
Urutan berikutnya Generasi Milenial kelahiran 1981 – 1996 usianya berkisar 24- 39 tahun, jumlahnya kurang dari 25,87 persen. Sedangkan Generasi X kelahiran 1965-1980 dengan usia 40-55 tahun persentasenya kurang lebih 21,88 persen.
Menurut Dwiyanto, potensi sumber daya manusia (SDM) yang sangat besar itu jangan sampai ternodai oleh sikap-sikap yang justru merusak potensi itu sendiri.
Berdasarkan Survei Digital Civility Index (DCI) Microsoft, dari 32 negara yang diteliti Indonesia menempati rangking 29 sebagai negara dengan netizen yang tidak sopan. Ada tiga faktor utama yang mempengaruhi yaitu hoaks dan penipuan, ujaran kebencian serta diskriminasi.
Menurut dia, budaya digital mau tidak mau harus terus ditumbuhkan, yaitu suatu cara hidup yang baik, dilestarikan dan diwariskan pada konteks pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Dua kunci yang perlu dipegang adalah partisipasi (keikutsertaan) dan remediasi, perubahan budaya lama ke budaya baru.
Lagi-lagi, lanjut dia, untuk menciptakan budaya baru guru memiliki peran penting antara lain dengan cara membuat ruang belajar yang asyik serta tak terbatas.
Dwiyanto mengistilahkan budaya baru sebagai 5 V yaitu Velocity, Volume, Variety, Veracity, Value. Penjabarannya adalah aktivitas mengumpulkan dan menganalisis data untuk menghasilkan solusi dan manfaat. Di dalamnya terdapat pula nilai Ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai demokrasi, nilai Kesejahteraan.
Sedangkan untuk membangun citra diri yang positif, dapat dilakukan dengan menghormati guru, teman sekelas, teman sekomunitas disertai komitmen untuk saling membantu.
Guru sebagai pendidik bisa membuat sesi pembelajaran yang mengasyikkan. “Libatkan peserta didik dalam pembelajaran, beri tantangan, belajar mandiri, pilih keahlian, cari Komunitas yang populer dan terpercaya, tanggung jawab dan konsisten,” saran dia.
Narasumber lainnya, Fathor Rahman selaku Dosen STKIP PGRI Sumenep dalam kesempatan itu mengulas tentang etika, yaitu suatu norma atau aturan yang dipakai sebagai pedoman dalam berperilaku di masyarakat terkait dengan sifat baik dan buruk. Secara Etimologis, kata “etika” berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu “ethicos" yang artinya timbul dari suatu kebiasaan.
Adapun etika tradisional adalah etika offline menyangkut tata cara lama, kebiasaan dan budaya yang merupakan kesepakatan bersama dari setiap kelompok masyarakat, sehingga menunjukkan apa yang pantas dan tidak pantas sebagai pedoman sikap dan perilaku anggota masyarakat.
Adapun etika kontemporer adalah etika elektronik dan online menyangkut tata cara, kebiasaan, dan budaya yang berkembang karena teknologi yang memungkinkan pertemuan sosial budaya secara lebih luas dan global.
Sementara etika digital (digital ethics) merupakan kemampuan individu dalam menyadari, mencontohkan, menyesuaikan diri, merasionalkan, mempertimbangkan dan mengembangkan tata kelola etika digital (netiquet) dalam kehidupan sehari-hari.
Adapun etika pembelajaran daring meliputi disiplin, mengucapkan salam dan bertutur kata santun ketika memulai dan mengakhiri pembelajaran, menyalakan kamera saat pembelajaran berlangsung, berpenampilan rapi dan sopan, jangan pernah membawa SARA karena sangat sensitif dapat memicu perselisihan.
Dipandu moderator Dimas Satria, webinar juga menghadirkan narasumber Gilang Jiwana Adikara (Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Jakarta, Japeli) Tb Ai Munandar (Dekan FTI Universitas Serang Raya Banten), dan Astari Vern (Miss Tourism International 2019 - Content Creator) sebagai Key Opinion Leader. (*)
Post a Comment