Bukan penunjang, gadget dan internet adalah satu kesatuan di era digital
Karanganyar: Transformasi digital membawa perubahan baru dalam menjalani kehidupan. Cara-cara konvensional telah bergeser ke dunia digital yang memberikan berbagai kemudahan di dalamnya. Meski begitu, nilai sopan santun seharusnya juga tetap dibawa di dalam ruang digital. Isu kesopanan hangat dibahas dalam webinar literasi digital yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk masyarakat Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, Selasa (10/8/2021).
Kegiatan tersebut merupakan bagian dari Program Literasi Digital Nasional : Indonesia Makin Cakap Digital, yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo pada 20 Mei 2021 lalu. Program ini diselenggarakan sebagai upaya mendukung percepatan transformasi digital dengan memupuk kecakapan masyarakat dalam menggunakan dan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Kecakapan literasi digital yang digagas pemerintah itu meliputi digital culture, digital skill, digital ethics, dan digital safety.
Diskusi virtual hari ini dipandu oleh Nindy Gita (public speaker) dengan menghadirkan empat pemateri yang cakap pada bidangnya. Mereka adalah Endi Haryono (dosen President University), Muhammad Achadi (AJI Yogyakarta), Handono (Kepala MAN Salatiga), dan Wiharso (Kepala Kantor Kemenag Karanganyar). Selain itu juga ada Reza Tama (entrepreneur) sebagai key opinion leader.
Endi Haryono memantik diskusi dengan mengkolaborasikan antara kecakapan atau skill digital dengan adab dan sopan dalam bermedia digital. Gadget dan internet di era digital merupakan satu kesatuan dan bukan sekadar menjadi penunjang tetapi kebutuhan yang dikonsumsi.
Dalam hal bermedia, Endi menyebutkan, transformasi telah membawa bentuk perubahan. Akses informasi yang dulu didapat melalui cara konvensional dan satu arah, kini sudah berubah. Dari media cetak, radio, dan televisi kini telah beralih ke media sosial yang lebih terbuka dan siapa saja bisa memproduksi dan menyebarkan informasi.
Jika dilihat fungsi atau manfaat media, baik media konvensional maupun media sosial, keduanya bisa menjadi sarana aktualisasi diri atau menyalurkan ide. Media berfungsi sebagai wahana untuk pengembangan profesi dan bisnis. Media juga menjadi wadah menemukan hiburan, baik yang berupa tulisan, gambar maupun audio visual. Di lain sisi, media tak sedikit menjadi wahana kampanye dan advokasi.
“Perbedaan media yang pernah kita kenal dulu dengan media sosial saat ini adalah keberadaan pengurus atau pengelola keredaksian informasi. Dewan redaksi menjadi penanggung jawab terhadap apa-apa yang ingin disampaikan ke publik. Tapi kalau di media sosial, batas itu sama sekali hilang. Karena tidak ada dewan redaksi, maka pengguna media sosial menjadi orang yang paling bertanggungjawab dalam menyampaikan informasi,” jelas Endi kepada hampir 300 peserta diskusi.
Permasalahan yang dihadapi pada masa peralihan dari media konvensional ke media sosial adalah terbawanya hal-hal negatif di ruang digital. Banyak ditemui di media sosial pencemaran nama baik, ujaran kebencian, dan penipuan. Juga, yang paling sering, adalah disebarkannya hoaks. Hoaks mereduksi kebenaran, karena masifnya penyebaran informasi palsu ini membuatnya seolah-olah benar, padahal tidak.
Karena itu, Endi menyebutkan, untuk meminimalisir hal-hal negatif di media sosial diperlukan bermedia dengan cakap, cerdas, dan cermat. Bermedia dengan cakap yakni bagaimana sebagai pengguna mampu memproduksi konten sendiri, sehingga meminimalkan zero share informasi hoaks. Pembuatan konten bisa dilakukan dengan membagikan cerita perjalanan, menulis karya fiksi. Atau, jika mempunyai keahlian tertentu, bisa dikreasikan dan ditampilkan di ruang media sosial.
Cakap bermedia digital lainnya adalah dengan memanfaatkan media sosial untuk meningkatkan atau mengembangkan skill kebahasaan. Menambah kecakapan bahasa bisa menjadi bekal untuk menghadapi era digital yang global. Selain itu juga bisa memanfaatkan media sosial untuk membaca informasi sejarah dunia atau sejarah Indonesia.
“Di sisi lain, bermedia sosial harus dilakukan dengan cerdas. Cerdas di sini adalah bagaimana menguatkan toleransi, menjalin silaturahmi dan meluaskan jejaring. Toleransi menjadi dasar saat berinteraksi dengan orang di dunia digital, sebab di ruang media sosial terdiri dari berbagai macam orang dan latar belakang. Dengan toleransi tentunya dapat menguatkan rasa silaturahmi dan berjejaring dalam koridor yang positif,” urai Endi.
Sedangkan cermat bermedia, berarti setiap pengguna harus mempunyai kontrol atau sensor pribadi, mampu menerapkan etika, dan taat Undang-Undang ITE saat beraktivitas di dunia digital.
“Era digital dan pandemi membuat kita banyak menghabiskan waktu di media sosial, karenanya harus kita manfaatkan dengan baik. Kita harus belajar menjadi produsen konten positif dan bukan sekadar konsumen yang menikmati arus. Sebaiknya, memanfaatkan media sosial untuk kemajuan pribadi dan persatuan bangsa,” pungkas Endi Haryono.
Narasumber lain, Muhammad Achadi menambahkan, ramah dan sopan bermedia sosial dapat dilakukan dengan waspada terhadap informasi hoaks, waspada provokasi dan ujaran kebencian. Mencari sumber resmi dan kompeten serta menjunjung etika dan taat hukum.
“Sopan dan ramah bermedia dengan menjadi good influencer. Memiliki integritas dan menyampaikan sesuai otoritas atau kapasitas keilmuan, menciptakan track record dan memberi keteladanan yang baik, berakhlak baik. Apa yang kita lakukan di media sosial meninggalkan rekam jejak yang dapat menerima sanksi digital jika tidak berperilaku dengan baik di media sosial,” ujarnya.
Sementara itu Handono menambahkan, ada lima prinsip untuk menanamkan budaya sopan dalam bermedia kepada anak, dan itu dapat dimulai sejak di lingkungan terdekatnya. Yakni orangtua atau guru, mampu menjelaskan dasar tindakan untuk mendorong siswa memahami prinsip moral. Memberikan contoh kepada anak atau murid dalam menerapkan semua nilai dasar moral.
“Sekolah merupakan lingkungan yang memberikan pengalaman terstruktur, yang dapat digunakan siswa untuk mempelajari apa yang harus dan tidak boleh dilakukan. Iklim sekolah memberikan wadah cara melaksanakan aktivitas dan hubungan antar individu yang mendukung nilai moral dalam kelas. Guru harus terus menerus mengingatkan siswa untuk mengaplikasikan nilai yang ditetapkan agar dapat memperbaiki perilaku mereka,” jelas Handono. (*)
Post a Comment