Bermedia Sosial? Etika Berperilaku Harus Dijaga
Banyumas - Perkembangan teknologi membawa perubahan di berbagai lapisan kehidupan, termasuk cara berinteraksi dan berpendapat, lintas budaya, lintas sosial, tanpa kendala jarak dan waktu.
Peneliti dan Antropolog, M Nur Arifin mengatakan saat ini tengah berada di era kelimpahan informasi dan komunikasi, baik positif maupun negatif, dalam berbagai platform media digital. Fakta hari ini, masih banyak konten negatif bermunculan berupa hoaks, perundungan, ujaran kebencian, isu SARA, radikalisme digital, penipuan online.
“Aktornya individu maupun kelompok; dari berbagai latar pendidikan dan profesi; sengaja dan tidak sengaja,” katanya dalam webinar literasi digital dengan tema “Membangun Toleransi Beragama Melalui Media Sosial” yang digelar Kementerian Kominfo dan Debindo bagi warga Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, pada 28 Juli 2021.
Arifin menyebut survey Microsoft 2020 (rilis Februari 2021) pada 58.000 orang di 32 Negara, menyimpulkan antara lain netizen Indonesia paling tidak sopan di Asia Tenggara. Ujaran kebencian, perundungan dan hoaks menjadi penyebab netizen berperilaku tidak sopan di ruang digital.
Pada tahun 2018 ada laporan polisi 4.360. Tahun 2019 meningkat jadi 4.586. Tahun 2020 meningkat lagi menjadi 4.790. kemudian, kasus pencemaran nama baik Pada 2018 terdapat 1.258 laporan, 2019 sebanyak 1.333 laporan dan pada 2020 menjadi 1.794. Urutan kedua ditempati ujaran kebencian sebanyak 238 laporan pada 2018, meningkat mencapai 247 laporan pada 2019 dan 223 laporan polisi pada 2020. “pada 2018 itu 60 kasus, 2019 ada 97 kasus, dan 2020 menjadi 197 kasus yang menyangkut hoaks,” ujarnya.
Arifin menyebut demokrasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara UUD 1945, negara menjamin kepada rakyatnya untuk menyampaikan aspirasi secara lisan dan tulisan. Karena itu, ormas merupakan potensi masyarakat yang harus dikelola. Ada 420.381 organisasi kemasyarakatan (ormas) yang terdaftar di Indonesia.
“Etika perilaku dalam dunia maya, berupa kesadaran memiliki tujuan integritas. Karena ada potensi manipulatif; manipulasi, plagiasi, hak cipta. kebajikan : nilai-nilai kebajikan; tata kelola, interaksi, partisipasi, kolaborasi, transaksi elektronik tanggung jawab dengan akibat yang timbul,” kata dia.
Arifin menyebut membangun relasi sosial di platform digital menggunakan medsos dan email dengan pesan yang bermanfaat. Kemudian menggunakan internet dengann info edukasi dan hiburan. Lalu, menghindari membahas isu sensitif, menghindari kalimat porno dan fulgar selama medsos, menggunakan medsos berbagi foto, video yang inspiratif.
Tuntutan kompetensi bermedsos, kemampuan menyeleksi memilih dan memilah informasi dan sumber info. Kolaborasi kompetensi untuk berinisatif dan mendistribusikan informasi yang jujur, akurat, dan etis dengan bekerjasama bersama pemangku kepentingan lainnya.
“Toleransi juga dapat berarti suatu sikap saling menghormati dan menghargai antarkelompok atau antar individu (perseorangan) dalam masyarakat ataupun dalam lingkup yang lain, memahami nilai-nilai universal agama ; kemanusiaan dan keadilan,” paparnya.
Narasumber lainnya, Konsultan Bisnis dan HAM, Nur Kholis mengatakan aktualisasi warganegara dalam bermedia digital berada dalam batas-batas formal yang berkaitan dengan hak, kewajiban, dan tanggung jawabnya dalam ruang ‘negara’. Kasus-kasus yang dominan saat ini terkait bermedia digital adalah ujaran kebencian dan pencemaran nama baik.
“Sebagai pengguna teknologi digital, kita juga memiliki hak yang dijamin Konstitusi dan Undang-undang terkait di bidang Hak Asasi Manusia. Kewajiban dan tanggung jawab yang dilalaikan atau tidak dijalankan memiliki implikasi hukum yang di atur dalam berbagai aturan pidana,” bebernya.
Dipandu moderator Dwiky Nara, webinar kali ini juga menghadirkan narasumber Septa Dinata (Researcher Paramadina Public Policy), Endi Haryono (Dosen Hubungan Internasional dan Dekan Fakultas Humaniora, President University), dan News Presenter SEA Today, Hilyani Hidranto selaku key opinion leader. (*)
Post a Comment