Bermedia sosial, berkacalah dari falsafah ajining diri soko lathi
Magelang : Rimba raya media sosial kerap kali menampilkan berbagai ekspresi bahasa tak patut yang membuat orang mengelus dada, marah, lalu meledak menjadi permusuhan dan perpecahan.
Pengajar Departemen Sosiologi Fisipol UGM Yogyakarta Arie Sujito menuturkan, dalam media sosial yang bebas itu pengguna seringkali lupa norma kesopanan yang dilandasi etika. Sehingga, tak segan melontarkan reaksi berlebihan yang secara tak langsung mencerminkan kepribadiannya.
”Berkacalah pada falsafah Jawa yang menyebut ‘Ajining Diri Soko Lathi, Ajining Rogo Soko Busono’,” kata Arie Sujito saat menjadi pembicara dalam webinar literasi digital bertema ”Berbahasa yang Benar dan Beretika di Ruang Digital” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Kamis (19/8/2021).
Bukan tanpa alasan Arie menjadikan falsafah yang tetap relevan dalam perkembangan pesat dunia digital itu saat ini. Dalam bahasa Indonesia falsafah ini menyimpan arti mendalam bahwa harga diri, sifat, wibawa, atau kelakuan seseorang tergantung pada lidahnya atau bicaranya. Sedangkan harga diri penampilan bergantung dari pakaian atau busana yang dikenakan.
”Tidak hanya kepada generasi muda, tuladha (teladan) tentang kesopanan berbahasa di ruang digital ini juga berlaku untuk orangtua. Tidak perlu bersikap lebay pada apa pun yang terjadi di dunia maya. Eksis tidak masalah, sepanjang menghargai keberadaan orang lain. Bukan eksis dengan cara menghina, menjatuhkan, menyerang,” tegas Arie dalam webinar yang diikuti 270-an peserta itu.
Arie menambahkan, kebebasan berekspresi di media sosial dan ruang digital lainnya mesti dipahami dalam koridor kesopanan yang dilandasi etika. Sehingga, kebebasan itu termanfaatkan dengan baik dan terukur. “Kesopanan dengan landasan etika ini artinya kemampuan mengartikulasi dalam sikap dan tindakan dengan landasan budaya yang beradab, sebagai cermin kemartabatan manusia,” tandas Arie.
Arie Sujito menambahkan etika yang dimaksud, yang di dalamnya berisi perangkat nilai penghargaan, penghormatan dan pengakuan tentang perbedaan, hak-hak manusiawi tercermin dalam interaksi sosial secara praksis.
“Kita harus memahami, kadangkala bahasa teks atau video yang muncul di media sosial penerimaannya bisa berbeda dibanding bahasa yang diucapkan langsung. Oleh sebab itu, tak perlu emosi atau panas ketika di ruang digital muncul kata-kata yang dinilai tidak pas. Karena terkadang orang bisa saja salah mengetik atau menulis simbol emoticon, yang harusnya tertawa bercanda justru malah emoticon berkelahi,” kata Arie.
Arie mengingatkan, dalam batasan etika bermedia sosial, penting juga pengguna bisa mengatur sikapnya mana yang perlu ditunjukkan mana yang tidak. “Kita sering mendapati ekspresi kemarahan yang dipamerkan di media sosial. Hal ini bisa membuat orang lain merasa terintimidasi, atau merasa terancam,” tegasnya.
Arie mengungkapkan, sopan dalam bermedia sosial atau saat berinteraksi jangan lantas dimaknai sebagai bentuk ketakutan atau kegalauan. Namun sopan berarti kritis, menggunakan alat bermedia secara proporsional, mendasarkan penghormatan pada hak-hak orang lain dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
“Menggunakan bahasa percakapan, khususnya di media sosial menjadi isu khusus yang masih perlu perhatian. Ekspresi bertutur hendaknya diletakkan sesuai konteks,” tuturnya. Menurut Arie, antara pengetahuan, imajinasi, nilai penghormatan, dan penghargaan pada diri perlu dipadukan.
“Mengolah dan menyampaikan sesuatu dalam ekspresi tulisan, suara, gambar, mesti didukung dengan keterampilan untuk menjaga kesalahan dengan bahasa yang benar dan tepat,” ujarnya. Oleh sebab itu, Arie mengajak dalam menuangkan ekspresi dan artikulasi di ruang digital maupun dunia nyata harus berpegang pada prinsip humanis, beradab, dan cerdas.
“Sikap humanis, beradab dan cerdas ini membutuhkan kebiasaan dan kultur yang dipraktikkan dalam keseharian, agar setiap ekspresi kebebasan bermakna di ruang digital,” simpul Arie Sujito.
Sementara itu, narasumber lain dalam webinar, founder Istar Digital Marketing Centre Isharsono mengatakan, ada setidaknya tiga unsur kesalahpahaman bahasan yang ditemukan di media digital. “Unsur-unsur kesalahpahaman itu mencakup bahasa yang diucapkan, bahasa yang dituliskan, dan bahasa yang divisualkan dalam bentuk gambar,” jelasnya.
Isharsono mengungkapkan, satu komentar yang diungkap atau ditulis di media sosial bisa berdampak baik atau buruk tergantung apa yang kita tuliskan. Penerima pesan bisa memiliki beragam persepsi atas komentar itu. Karenanya, Isharsono menyarankan para pengguna yang hobi berkomentar tetap menggunakan nalar dan etika agar tidak menyinggung pengguna lainnya.
“Komentar yang dinilai berlebihan dan merugikan orang lain bisa dipidanakan, karena dinilai melanggar pasal UU ITE yang dampaknya bisa berujung ke proses hukum,” ujarnya.
Webinar kali ini, yang dimoderatori Rara Tanjung, juga menghadirkan dua narasumber lain yakni konsultan media Prasidono Listiaji dan Kepala Kantor Kemenag Magelang H.Zainal Fatah serta Venabella Arin selaku key opinion leader. (*)
Post a Comment