Belajar Agama di Dunia Digital, Guru Miliki Peran Vital
Batang - Media online mempermudah belajar apa pun. Sebagai sesama digital user, siswa dan guru sama-sama dapat informasi dari sumber lain. Kondisi tersebut, memungkinkan siswa mencari tahu sendiri sumber informasi, dan guru hanya berperan sebagai fasilitator.
Hal tersebut disampakan oleh Pengawas Madrasah Kementerian Agama Kota Semarang, Amhal Kaefani dalam webinar literasi digital dengan tema “Membangun Toleransi Beragama Melalui Media Sosial” yang digelar Kementerian Kominfo dan Debindo bagi warga Kabupaten Batang, Jawa Tengah, pada 28 Juli 2021.
Amhal mengatakan media online mempermudah belajar apa pun termasuk belajar agama. Dunia virtual dengan sejumlah aktivitasnya, pada titik tertentu dianggap dapat menggantikan dunia nyata sehingga makna substansial ajaran agama mengalami ancaman serius.
“Kendati demikian, semua fenomena ini tetap dapat dipandang sebagai ‘kegairahan baru’ bagi agama pada masa depan,” katanya.
Amhal mengungkapkan belajar agama harus dipandu guru, sebab internet hanya pembelajaran kognitif. Menurutnya, pembelajaran perilaku tidak bisa dilakukan dengan internet. “Belajar agama secara online, sumber banyak. Perlu dipandu dengan guru yang baik atau otoritatif,” ujarnya.
Menurutnya, belajar agama melalui online memiliki sisi positif dan negatifnya. Sepertinya banyak variasi, literatur akademik video ceramah, essay, dan lainnya. Namun tidak semua sumber dan konten authoritative, dan tidak semua konten sesuai dengan kaidah-kaidah keilmuan agama.
Amhal mengungkapkan moderasi beragama sendiri yakni cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum, berlandaskan prinsip adil, berimbang dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa.
Narasumber lainnya, Kepala MTsN 2 Pekalongan, Imam Sayekti mengatakan nilai budaya yakni nilai yang disepakati dan tertanam dalam masyarakat warganet yang mengakar kemudian menjadi kebiasaan, kepercayaan, dan menjadi pedoman prilaku manusia.
Peserta didik harus mempunyai nilai budaya dalam proses pembelajaran. Semisal saja ketika menghubungi guru, dengan membuat ijin terlebih dahulu melalui WhatsApp, mengucapkan salam, menyebutkan identitas. Lalu menjelaskan keperluan dengan singkat dan jelas, mengucapkan kata terima kasih di akhir.
“Budaya pembiasaan makan minum, semisal membaca doa sebelum dan sesudah makan, tidak makan dan minum sambal berdiri, tidak menggunakan tangan kiri, makan dan minum yang halal, dan tidak berlebihan,” ujarnya.
Menurutnya, dalam proses pembelajaran juga perlu diperhatikan mengenai nilai keilmuannya. Yakni memberi standar minimal yang mengatur pergaulan di era digital. Kemudian berintegritas secara digital dalam bentuk tertulis yang sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip keilmiahan.
“Selain itu juga dapat difungsikan sebagai alat untuk menghakimi baik norma hukum maupun norma agama manakala secara umum dinilai menyimpang dari kode etik keilmuan,” ucapnya.
Dipandu moderator Vania Martadinata, webinar kali ini juga menghadirkan narasumber Mustollih (Dosen UMNU Kebumen), Isharsono (Founder ISTAR Digital Marketing Center), dan Runner Up The New L-Men of The Year, Fadhil Achyari selaku key opinion leader. (*)
Post a Comment