Toleransi Beragama adalah Hasil dari Proses Moderasi Beragama
Gunung Kidul – Kepala Seksi Kurikulum dan Bidang Pendidikan Madrasah Kanwil Kemenag Provinsi Daerah Istimewa Yogayakarta (DIY) menyatakan, untuk membangun toleransi beragama di media sosial caranya dengan memahami dan mempraktikkan sikap moderasi beragama secara penuh.
”Memahami moderasi beragama berarti bersikap mengurangi kekerasan, atau menghindari keekstreman dalam praktik beragama,” ujar Taufik Ahmad Soleh saat menjadi pembicara pada webinar literasi digital bertema ”Membangun Toleransi Beragama Melalui Media Sosial” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis (9/9/2021).
Menurut Taufik, salah satu esensi kehadiran agama adalah untuk menjaga martabat manusia sebagai makhluk mulia ciptaan Tuhan, termasuk menjaga untuk tidak menghilangkan nyawanya. Khusus dalam konteks Indonesia, moderasi beragama diperlukan sebagai strategi kebudayaan kita dalam merawat keindonesiaan.
Moderasi beragama, lanjut Taufik, sesungguhnya merupakan kebaikan moral bersama yang relevan tidak saja dengan perilaku individu yang toleran, melainkan juga dengan komunitas atau lembaga. ”Moderat dalam beragama berarti percaya diri dengan esensi ajaran agama yang dipeluknya, yang mengajarkan prinsip adil dan berimbang, tetapi berbagi kebenaran sejauh menyangkut tafsir agama,” jelasnya.
Moderasi beragama kemudian dapat dipahami sebagai cara pandang, sikap, dan perilaku selalu mengambil posisi di tengah-tengah, selalu bertindak adil, dan tidak ekstrem dalam beragama. Moderasi beragama harus dipahami sebagai sikap beragama yang seimbang antara pengamalan agama sendiri (eksklusif) dan penghormatan kepada praktik beragama orang lain yang berbeda keyakinan (inklusif).
”Pilihan pada moderasi dengan menolak ekstremisme dan liberalisme dalam beragama adalah kunci keseimbangan, demi terpeliharanya peradaban dan terciptanya perdamaian. Dengan cara inilah masing-masing umat beragama dapat memperlakukan orang lain secara terhormat, menerima perbedaan, serta hidup bersama dalam damai dan harmoni,” papar Taufik.
Taufik juga mengungkap empat indikator moderasi beragama, yakni: komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan akomodatif terhadap kebudayaan lokal. ”Keempat indikator ini dapat digunakan untuk mengenali seberapa kuat moderasi beragama yang dipraktikkan oleh seseorang di Indonesia, dan seberapa besar kerentanan yang dimiliki,” tegasnya.
Moderasi beragama, imbuh Taufik, sejatinya untuk penguatan toleransi aktif, karena moderasi beragama tidak dapat dipisahkan dari terma toleransi atau toleran. Kata Toleransi bisa diartikan kelapangan dada, dalam pengertian suka kepada siapa pun, membiarkan orang berpendapat atau berpendirian lain, tak mau mengganggu kebebasan berpikir dan berkeyakinan lain.
”Moderasi beragama adalah proses, dan toleransi adalah hasil atau buah (outcome) jika moderasi diterapkan. Demikian juga, toleransi aktif dari para pemeluk agama sangat dibutuhkan dalam mewujudkan harmoni sosial,” tutur Taufik.
Toleransi merupakan usaha untuk menghargai perbedaan, mengasihi dan berbagi kebaikan kepada siapa pun baik yang berbeda secara agama, suku dan warna kulit. Dengan begitu, yang harus diperhatikan dalam bermedia sosial, adalah sikap tidak mengundang kekerasan, tidak menyinggung SARA, serta bijaksana dalam mengunggah berbagai isu.
Narasumber lain pada webinar ini, pemimpin redaksi Agendaindonesia.com Prasidono Listiaji menyatakan, banyak orang masih memperlakukan media sosial seperti kamar tidur, bahkan toilet. Padahal media sosial bukan toilet keluarga, di mana kita bisa seenaknya membuang kotoran tanpa peduli dengan orang lain.
Kekotoran itu dibuktikan oleh data dari Katadata insight center yang menyebutkan setidaknya hampir 60 persen orang Indonesia terpapar hoaks saat mengakses dan berkomunikasi melalui dunia maya. Sementara hanya 21 sampai 36 persen saja yang mampu mengenali hoaks. ”Kebanyakan hoaks yang ditemukan terkait isu politik, kesehatan dan agama,” tegas wartawan senior yang akrab disapa Inod itu.
Kemudian, lanjut Inod, media sosial juga kerap dijadikan ajang untuk memprovokasi hingga tejadi kerusuhan bernuansa SARA. Aktivitas media sosial ditengarai menjadi pemantik pembakaran, kerusuhan, bahkan bentrokan antarwarga hingga meminta korban jiwa. ”Kasus Tanjungbalai, Papua, dan lainnya,” jelasnya.
Untuk itu, Inod berharap agar ada perubahan sikap saat bermedia sosial lantaran media sosial merupakan ruang publik yang mesti sama-sama kita jaga. Caranya, menyadari bahwa bersosial media berarti mengikuti tertib sosial dan sopan santun publik, bersedia memakai bahasa baku publik, ruang publik berisi berbagai macam orang dengan karakter, adat istiadat, keyakinan. Hormati perbedaan itu, agar perbedaan yang kita miliki juga dihormati, karena hidup dalam ruang publik berarti mencari kesamaan, dan membangun kebersamaan.
”Sikap dan kebiasaan pribadi atau keluarga, tak perlu masuk ke ranah publik. Begitu juga ide, orientasi dan sikap politik pribadi jangan dibenturkan dengan padangan yang berbeda. Jaga keisengan dan komentar yang tidak perlu,” pungkas Inod.
Webinar yang dipandu oleh moderator presenter TV Nabilla Nadjib itu, juga menghadirkan narasumber Heru Prasetia (Pegiat Literasi Digital), Muawwin (Penulis dan Co-Founder Akademia Virtual Media), dan finalis Indonesian Idol Abraham Kevin selaku key opinion leader. (*)
Post a Comment