Teladan Dakwah Sunan Kalijaga: Adaptif dengan Zaman dan Kebudayaan
Demak: Membahas toleransi, apalagi dari Demak di kawasan pantura Jawa Tengah, kita tentu tak susah mencari teladan nyata, Sunan Kalijaga. Benar. Ketika diminta membahas topik ”Ayo Tetap Jadi Anak Shaleh: Dakwah Pesantren yang Toleran di Media Sosial” untuk masyarakat Demak, Yusuf Mars, wartawan senior yang kini produktif sebagai konten kreator di Padasuka TV, langsung teringat sosok Sunan Kalijaga. Beliau salah satu Walisongo yang sangat popular dan pernah memusatkan dakwah Islamnya dari kota Demak. Apa yang menarik dari Sunan Kalijaga?
”Yang membuat Sunan Kalijaga menonjol, karena cara dakwahnya yang dikenal adaptif dan kreatif mengolah budaya Jawa yang terjaga adiluhung, tidak terganggu tatakramanya. Tangan Sang Sunan menyitir pesan ajaran utama Islam dengan pesan bermakna mendalam di lagu Jawa seperti Ilir-ilir, Gundul-Gundul Pacul dan Sluku-Sluku Bathok, yang tak lain adalah ajaran ketauhidan Islam, Rukun Islam dan Rukun Iman. Juga, membahas agar orang selalu ingat mati, bekal mati, dan kalau mati kita akan kembali ke mana dan kepada siapa. Sungguh bermakna sangat dalam syair lagu tradisonal Jawa itu,” tutur Yusuf.
Tidak hanya lagu, pakaian adat Jawa surjan juga dijadikannya sarana dakwah. Sunan Kalijaga selalu menggunakan beskap surjan, pakaian adat Jawa itu bisa dijadikan sebagai sarana dan bentuk adaptasi budaya, untuk menyampaikan pesan-pesan ajaran agama Islam dengan filosofi Islam yang mudah dicerna dan dipahami.
”Mengemas ajaran agama Islam disampaikan dengan tradisi budaya Jawa yang halus dan bermakna dalam, sehingga menarik dan kemudian Islam bisa diterima begitu banyak umat dan luas cakupannya di kalangan wong Jawa pesisir Jawa Tengah berpusat dari Demak ini,” cerita Yusuf Mars kepada ratusan peserta webinar literasi digital dalam program gelaran Kementerian Kominfo di Kabupaten Demak, 5 Juli 2021.
Yusuf tak sendirian mengupas topik menarik tersebut. Dipandu moderator presenter TV Subkhi Abdul, juga tampil tiga pembicara lain: Zusdi F. Arianto (Ketua Yayasan Quranesia Amrina), Savic Ali (Direktur NU Online dan Islami.co), juga Eko Sugiono (digital marketer dan expert dari G Coach). Selain itu, hadir pula key opinion leader yang juga public speaker professional Nindy Gita.
Zusdi Arianto menimpali. Sejak dulu, Kanjeng Sunan sudah sangat paham pentingnya media sarana penyampaian dakwah Islam yang mesti bersifat lembut bahasa, teduh aura budaya, dan bermakna positif. Itu pula mestinya modal kaum muda pesantren di era digital sakarang. Media sosial begitu cepat dilihat dan dibaca jutaan orang di beragam suku dan bahkan bangsa lintas benua.
Makanya, dalam menyampaikan dakwah, ustad milenia mesti akurat dalam mengutip hadis dan ayat Illahi, serta menyampaikanya dengan gaya bertutur santun dan lembut. Meski berbeda zaman, pilihan bahasa yang mudah dicerna dan dipahami tetap paling penting.
”Jangan sampai malah memicu salah tafsir, menebar kebencian dan perpecahan di kalangan umat Islam serta menjauhkan ketertarikan umat yang belum paham ajaran Islam untuk tertarik. Kalau ada ustad di zaman Islam modern, meski niatnya pengajian, tapi pesan yang diungkap ke jamaah malah dimaknai menebar kekerasan, bahasa yang radikal dan mencitrakan kekerasan, orang malah merespons menjauh. Bukankah Islam sejak dulu adalah rahmatan lil alamin, rahmat untuk seluruh umat dan alam semesta?” ujar Zusdi.
Untuk ustad yang menyampaikan pesan dakwah secara online dalam beragam konten di banyak akun medsos, Eko Sugiono berpesan: menguasai bahasa asli kitab suci dengan lebih baik sangat dianjurkan. Karena, banyak kasus, kalau ada ustad muda yang keseleo menyitir hadist atau ayat, zaman sekarang akan viral dan jadi bulan-bulanan di medsos.
”Maka, saya kurang menganjurkan siaran langsung. Lebih baik siaran tunda, syukur konten dibikin sendiri sehingga bisa diedit dan rekam ulang. Itu lebih aman buat mencetak jejak digital yang teduh, dan tidak cepat merusak karier sang ustad. Beri jeda ceramah, jangan kejar setoran, agar bisa memperbanyak literasi bacaan ilmu agama lebih matang, khususnya perdalam ilmu hadist dan ajaran Alquran lebih matang dan akurat,” kata Eko.
Sementara itu, Savic Ali mengatakan: think before you share. Pikir matang sebelum melontarkan pendapat, apalagi bila Anda ustad yang sudah banyak pengikut. Sebab, umat akan ikut membenci yang dibenci ustad. Kalau tidak tahu persis suatu masalah, jangan menyebar fatwa, apalagi kalau dasarnya kita tidak suka dengan figur yang jadi masalah.
”Orang akan mengingat apa yang kita benci dan tidak peduli, bahkan melupakan apa yang kita suka. Publik ingat, misalnya, kalau Savic itu benci FPI dan HTI, walau alasan yang diungkap Savic logis. Tapi publik medsos tidak peduli kalau Savic sangat suka dengan Arsenal, yang kalah terus,” ujar Savic Ali. Jadi?
”Jadilah pendakwah yang suka share ilmu dari sumber yang kredibel dan hadist dan ayat yang akurat. Jangan suka menebar ilmu dari sumber tak jelas, dari sumber yang link-nya tak bertanggung jawab. Hanya merusak jejak digitalmu, dan itu dipertanggungjawabkan sampai mati. Jagalah tetap positif, seperti pesan Sunan Kalijaga: ’Urip iku urub’, sebaik-baik manusia adalah yang bisa menerangi dan bermanfaat bagi orang sekitarnya,” pungkas Savic. (*)
Post a Comment