Tak Mau Kehilangan Pekerjaan? Sterilkan Medsosmu dari Jenis Postingan Ini
TEGAL: Dari jutaan pengguna media sosial atau medsos di Indonesia, tidak sedikit yang tak sadar bahwa rekam jejak digitalnya sangat bisa mempengaruhi masa depan dan pekerjaan impiannya. Sebab, banyak perusahaan memilih cari aman dengan merekrut orang-orang yang jejak digitalnya baik atau tanpa masalah, agar tak membahayakan citra dan kinerja perusahaannya ketika diterima bergabung.
”Hati-hatilah dengan jebakan medsos. Banyak kasus pemecatan atau tidak diterima bekerja dalam suatu perusahaan akibat postingan di medsosnya,” kata Co-Founder Jelajah.live Agus Supriyo, saat menjadi pembicara dalam webinar literasi digital bertema "Kenali dan Pahami: Rekam Jejak di Ruang Digital" yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Kamis (2/9/2021).
Dalam webinar yang diikuti seratusan peserta itu, Agus menjabarkan jenis-jenis postingan di media sosial yang dapat membuat orang kehilangan kesempatan kerja atau pekerjaan yang sedang dilakoninya. Perusahaan yang tidak mau menerima atau merekrut karyawan yang postingan medsosnya memakai kata-kata agresif, provokatif atau bahasa kasar persentasenya sebanyak 75 persen.
Kemudian yang medsosnya menunjuk referensi ke penggunaan narkotika sebesar 71 persen. Yang pola berbahasanya buruk persentasenya 56 persen. Lalu yang mengunggah foto diri saat mabuk persentasenya 47 persen, dan yang mengemukakan pandangan atau aktivitas politik sebanyak 29 persen.
Adapun media sosial yang biasa dicek oleh para pemberi kerja, menurut Agus, antara lain LinkedIn persentasenya 48 persen, Facebook 46 persen, Twitter 28 persen, dan Instagram 15 persen. Untuk itu, daripada membuat jejak digital yang membahayakan diri sendri, Agus menyarankan sejumlah langkah untuk membangun jejak digital yang baik melalui sosmed.
Langkah tersebut bisa dimulai dengan cara menentukan personal branding seperti apa yang kita buat dalam bermain media sosial. ”Ciptakan sendiri branding apa yang baik untuk kita. Cek privasi dan setting akun digital kita. Hapus informasi yang sekiranya tidak perlu diketahui semua orang. Bila memungkinkan, saring segala informasi segala sebelum sharing,” kata Agus.
Agus Supriyo menegaskan, pembentukan branding diri di medsos tergantung keinginan tiap pengguna, ingin dikenal sebagai apa. Sebab, kita dengan media sosial atau dengan dunia internet selalu terhubung ke mana pun membawa identitas digital yang dibuat. Pengguna internet sendiri bisa nyata, bisa palsu. Kelemahannya, pengguna juga rentan berinteraksi dengan pengguna yang tidak dikenal, sehingga tujuannya tidak diketahui.
”Maka, tentukan platform yang digunakan brand image kita. Mulailah konsisten di setiap platform, create content, bangun interaksi dengan follower atau teman, juga bangun hubungan dengan influencer,” kata dia.
Medsos bisa sangat menguntungkan untuk membangun brand image. Sebab, selain murah, jangkauannya luas, gampang viral, bergantung kata kunci, dan yang diperlukan hanyalah kreativitas dan intensitas interaksi. ”Jadi, sosial media itu sangat bermanfaat untuk memperluas jaringan baru, membuat forum untuk marketing, untuk pertemanan, untuk mempublikasikan karya video, foto dan lainnya,” jelas Agus.
Hanya saja, Agus mengingatkan, ada sejumlah kiat jitu agar aman di dunia online. Yakni, selalu ingat dan simpan password, usai online pastikan selalu log off atau lock bila pakai ponsel dan waspada bila berkomunikasi dengan orang baru serta hanya buka situs terpercaya saja,” tegasnya.
Narasumber lainnya, Pemred Radar Tegal Fathurahman menuturkan, yang dapat kita lakukan untuk mencegah dan memproteksi dari produksi konten negatif di ruang digital, khususnya medsos adalah menyadari penuh jika konten negatif berpotensi besar melanggar hukum dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
”Pahami juga bahwa konten negatif yang kita produksi itu sulit dihapus sejak diciptakan. Sebab, hingga kini belum ada cara yang efektif untuk menghapus jejak digital,” cetusnya.
Namun, lanjut Fathurahman, jika sudah telanjur memproduksi konten negatif hendaknya kita menghapus atau meralatnya. Bukan malah menyebarkannya. ”Aplikasi percakapan dan media sosial sebaiknya digunakan untuk mendorong sinergi atau kolaborasi dalam memberi manfaat baik untuk semua,” pungkasnya.
Dimoderatori Oony Wahyudi, webinar kali ini juga menghadirkan dua narasumber lain: dosen Universitas Negeri Islam Bandung Santi Indra Astuti dan pegiat IAPA Pradhikna Yunik, serta Tya Yuwono yang bertindak selaku key opinion leader.(*)
Post a Comment