Pandemi Percepat Transformasi Digital dengan Implikasi Sosial Budayanya. Lalu Apa?
SLEMAN: Inilah realitas yang sedang berlangsung satu setengah tahun kita jalani bersama. Seluruh bangsa digempur pandemi Covid-19 tanpa tahu kapan akan berakhir. Ekonomi terpuruk, bisnis nyaris mati suri, pengangguran bertambah tak terhitung lagi. Data resmi menyebut, sampai September 2020, BPS mencatat pengangguran bertambah hingga mencapai 2,8 juta orang. Tapi ada satu hikmah yang tak banyak disadari. Apa itu?
Pandemi telah memaksa transformasi digital berubah dan bergerak lebih cepat. Ya, pandemi mengubah perilaku sosial budaya dan segala ritme kehidupan manusia. Orang dipaksa tinggal di rumah, sehingga karena itu berubah pula pola belanja, belajar di sekolah, dan berbisnis dilakukan dari rumah dengan memanfaatkan teknologi digital.
"Yang belum bisa, mesti belajar cepat agar bisa menyesuaikan diri dengan zaman dan realitas sosial yang, karena pandemi, memaksa warga masyarakat beradaptasi. Pilihan hanya mau adaptasi atau dihantam virus covid," ujar Aditia Purnomo, penulis lepas dan social media specialist, saat memantik diskusi dalam webinar Literasi Digital: Indonesia Makin Cakap Digital yang digelar Kementerian Kominfo untuk wilayah Kabupaten Sleman, 30 Juni lalu.
Dampak transformasi ini membuktikan dengan angka berubah dratisnya perilaku digitalisasi warga. Dalam belasan bulan, data jumlah warganet Indonesia makin meruah. Dari 274 juta penduduk Indonesia, 73 persen alias 202 juta warga, bahkan dengan 125 persen menggunakan ponsel, mengakses dunia maya. Artinya, lebih banyak jumlah ponsel yang aktif: 345 juta unit, daripada jumlah manusianya. Dan yang menarik, warganet Indonesia itu menggunakan sepertiga jam hariannya alias 8,5 jam sehari untuk berinternet, termasuk bermedsos,
"Ini jelas membuat perilaku budaya berubah dan tentu butuh beberapa tata krama yang mesti dipatuhi agar tatanan sosial budaya, baik di dunia nyata maupun dunia maya, terus terwujud harmonis. Meski tak mudah, tapi harus terus diikhtiarkan bersama oleh lintas warga masyarakat," pesan Aditia pada peserta diskusi bertopik “Manusia yang Berbudaya dalam Pergaulan di Dunia Maya” yang diikuti ratusan peserta lintas generasi dan profesi dari seputar Sleman dan sekitarnya.
Aditia antusias membahas topik seru tersebut dalam diskusi yang digelar secara daring, dengan dipandu moderator Dimas Satria dan tiga pembicara lain: Dr. Kismartini (dosen Ilmu Komunikasi Undip Semarang), budayawan M. Jadul Maula, dan Yusuf Mars, kreator konten pengelola channel Padasuka TV, serta Ayu Rachma, konten kreator yang tampil sebagai key opinion leader.
Poin penting yang mesti dijaga warganet dalam bergaul dalam media sosial yang borderless, tanpa kenal batas wilayah dan waktu, menurut Dr. Kismartini, adalah menjaga ajaran budaya Indonesia sesuai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Yang mesti menjaga tepa selira, tenggang rasa, dan sadar dunia maya sama dengan dunia nyata. Jangan mudah memaki dan melontar ujaran kebencian, karena bukan hanya merusak harmoni sosial, tapi bisa jadi mengantar si pelontar ujaran kebencian ke penjara nyata. Bukan penjara maya.
"Sadari kita di dunia nyata dan maya itu setara dan sejajar, jadi saling menghargai. Jaga budaya gotong royong, tidak saling menyakiti dan menjatuhkan dalam urusan bisnis, politik dan pergaulan sosial di dunia digital, karena dampakya bakal dirasakan di dunia nyata," Kusmartini mewanti-wanti.
Sementara itu, narasumber Jadul Maula mengatakan, era banjirnya informasi di dunia maya yang tak terbendung mestinya dihadapi dengan memperkokoh kecakapan digital yang makin mumpuni dengan banyak menyerap wawasan yang tersaring dan terseleksi. Jangan asal telan mentah info yang didapat di dunia maya. Biasakan menggunakan tradisi nalar dan tabayyun dengan memperbanyak diskusi pada lingkungan yang lebih berliterasi matang. Ini penting dilakukan kaum milenia dan generasi muda.
"Mesti kita sadari, digitalisasi merupakan bentuk globalisasi tingkat lanjut. Perdalam budaya lokal, saring segala info dengan kekuatan iman dan budi perkerti luhur bangsa kita. Jangan mudah mengikuti tradisi impor atas nama modernisasi," pesan Jadul Maula.
Yang tak kalah penting diwaspadai di era serba digital sekarang, kalau menurut Yusuf Mars, adalah jangan mudah terprovokasi berita bohong atau hoaks. Tahun 2014 dan 2017, pandangan kita tertuju pada fenomena ditangkapnya jaringan Saracen. Sebuah jaringan yang sengaja memproduksi hoaks untuk kepentingan politik bernuansa pilpres dan pilkada.
"Meski sudah ditangkap Bareskrim Polri pada 2017, tapi kalau masyarakat tak waspada, Saracen itu industri gunung es yang belum tuntas terbongkar. Bisa lahir dengan tujuan lain di masa datang. Tapi asalkan warganet makin cerdas dan cakap digital, pasti akan menggunakan akal sehat untuk menyaringnya. Berita yang mereka produksi akan mubazir tak berguna," ujar Yusuf Mars, penuh keyakinan. (*)
Post a Comment