Nasionalisme Harus Ditanamkan Melalui Literasi Digital
Surakarta – Brandpreneur Edy SR mengajak para pengguna media digital untuk mencintai Indonesia secara digital. Yakni dengan cara membrandingnya melalui internet. Dalam rangka membranding negara, warganet bisa berfungsi sebagai ambassador (duta) bangsa melalui peran-perannya di dunia digital.
”Lebih dari 70 persen populasi warga negara yang memiliki optimisme digital atau percaya bahwa teknologi digital akan membuka peluang baru,” tutur Edy SR saat menjadi narasumber pada webinar literasi digital bertema ”Literasi Digital sebagai Sarana Meningkatkan Wawasan Kebangsaan” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kota Surakarta, Jawa Tengah, Rabu (15/9/2021).
Menurut Edy, potensi digital warga Indonesia yang optimis pada digital itu, menunjukkan peran internet telah merambah ke berbagai bidang, termasuk untuk meningkatkan wawasan kebangsaan. Sehingga setiap warganet berperan sebagai ”duta bangsa”.
Dalam sehari, lanjut Edy, durasi warga Indonesia berinternet setara dengan jam kerja. Potensi ini menggambarkan besarnya kesempatan memperkaya wawasan dan menjawab peluang menjadi lebih baik. Lalu, berapa waktu yang digunakan untuk melakukan hal positif di internet, termasuk untuk membranding negara?
”Setiap menit, ada ratusan juta informasi beredar di internet. Berbagai gagasan ditawarkan. Jadi, pilah dengan kesadaran literasi digital yang baik. Lalu pilih yang terbaik bagi kita. Dari situ kita bisa membuat konten branding, lalu mendistribusikannya,” ujar Edy di depan ratusan partisipan webinar.
Edy mengungkapkan, dulu media sosial dianggap tempat main-main. Tapi kini, cara berpikirnya mesti diubah. Media sosial harus jadi tempat melahirkan kreativitas. Namun, kita tetap harus waspada terhadap konten negatif. Untuk itu, cerna setiap konten yang kita baca, lihat, dan dengar. Lalu pertimbangkan, apakah layak untuk diluaskan, atau cukup berhenti di kita.
Edy menambahkan, Indonesia kini memiliki generasi luwes berdigital yang jumlahnya 53,81 persen, terdiri dari generasi muda, perempuan, dan warganet. Selain internet, generasi ini memiliki optimisme pada pendidikan dan kebudayaan. Ini menunjukkan, mereka berpotensi untuk memperkaya dan meluaskan wawasan kebangsaan yang positif.
”Ibarat brand, kelola wawasan kebangsaan tersebut melalui tiga cara esensial. Sampaikan secara verbal dan visual yang baik, sehingga akan menjadi pengalaman yang baik pula,” pungkas Edy.
Berikutnya, Ketua Tanfidziyah PCNU Surakarta H. Muhammad Mashuri mengatakan, wawasan kebangsaan adalah cara pandang sebuah bangsa tentang dirinya di tengah-tengah lingkungan strategis yang bergerak serba cepat dan dinamik, agar bangsa tersebut tetap eksis dan survive.
Era digital, lanjut Mashuri, telah membentuk tatanan baru di mana manusia dan teknologi hidup berdampingan dan senantiasa berkolaborasi. Hampir semua dimensi kehidupan sosial masyarakat modern pun terimbas evolusi digital.
”Era digital juga melahirkan tren bagi generasi sekarang yang lebih sering menggunakan media digital sebagai sumber informasi sehari-hari. Ruang-ruang digital menjadi teman dalam menjalani hidup,” kata Mashuri.
Menurut Mashuri, ruang digital adalah ruangan yang tidak terpisahkan, serta tidak ada batasan antara satu negara dengan negara lain. Melalui ruang-ruang digital, informasi bertebaran bebas dan sangat minim filter. Untuk itu, perlu adanya kebijaksanaan dalam memilah dan menerima informasi.
”Di era digital ini nasionalisme harus ditanamkan melalui literasi digital,
agar masyarakat bisa menjadikan pancasila sebagai pembatas dari paham dan informasi yang tidak sesuai dengan cita-cita luhur bangsa,” tegas Mashuri.
Bagi Mashuri, budaya digital adalah keniscayaan yang mau tidak mau harus dihadapi oleh masyarakat secara luas. Interaksi masyarakat yang tanpa batas menjadi tantangan tersendiri, khususnya bagi para ulama dan umarah untuk menjaga moralitas anak bangsa. Di dalam jamiyah NU, menjaga perubahan budaya masyarakat menjadi tanggung jawab bersama para ulama, dengan mempertimbangkan tiga pilar ukhuwah: ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah basyariyah.
”Untuk itu, bagi umat Islam, dalam menyongsong era budaya digital ini secara teologis harus kembali pada landasan wahyu pertama yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW,” pungkas Mashuri.
Dipandu oleh moderator Nadia Intan, webinar kali ini juga menghadirkan narasumber Adhi Wibowo (praktisi pendidikan), Tri Hono Setyo Putro (anggota DPRD Kota Surakarta), dan putri Indonesia Perdamaian 2018 Dilla Fadiela selaku key opinion leader. (*)
Post a Comment