Mewaspadai Konten Hoaks, Begini Cara Mengenalinya
Sleman - Pengguna internet di Indonesia pada awal 2021 ini mencapai 202,6 juta jiwa. Jumlah ini meningkat 15,5 persen atau 27 juta jiwa jika dibandingkan pada Januari 2020. Sedangkan total jumlah penduduk Indonesia sendiri saat ini 274,9 juta jiwa. Artinya, penetrasi internet di Indonesia pada awal 2021 mencapai 73,7 persen. Hal tersebut dimuat dalam laporan terbaru yang dirilis oleh layanan manajemen konten HootSuite, dan agensi pemasaran media sosial We Are Social.
Entrepreneur & Founder Kampung Aridatu Tatty Apriliyana mengatakan, ada sebanyak 170 juta orang Indonesia yang terhubung dalam media sosial. ”Rata-rata orang Indonesia menggunakan internet selama 8 jam 52 menit dalam sehari, dan 3 jam 14 menit menggunakan media sosial,” kata Tatty dalam webinar literasi digital bertema ”Strategi Menangkal Konten Hoaks” yang digelar Kementerian Kominfo dan Debindo untuk warga Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa (7/9/2021).
Tatty mengungkapkan, ruang digital memiliki banyak dampak positif untuk dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Semisal, menjadikan akses informasi yang terbuka, kemudian ruang belajar yang tidak terbatas. Namun, ruang digital juga memberikan dampak buruk seperti menyebabkan kecanduan atau selalu merasa kurang, memicu kecemasan, depresi, hingga gangguan kualitas tidur.
Menurut Tatty, agar ruang digital bisa bermanfaat dengan baik, maka pengguna harus memiliki kemampuan melindungi identitas digitalnya. Caranya, tidak membagikan atau mencantumkan informasi pribadi yang bersifat privasi di platform digitalnya.
Hal ini dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan data pribadi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Kemudian menjaga rekam jejak digitalnya dengan baik, tidak terlibat dalam menyebarkan konten hoaks, dan hanya mengunggah konten atau postingan yang sifatnya positif saja.
Tatty menyebutkan, ada beberapa cara untuk mengenali konten di ruang digital yang masuk kategori hoaks atau bukan. Pertama, pengguna bisa memastikan terlebih dahulu konten tersebut sumber beritanya dari mana, kemudian mencari tahu arah beritanya. ”Perhatikan juga siapa yang menyebarkan berita dan waktu penayangan beritanya,” ucap Tatty kepada 450-an partisipan webinar.
Pengguna juga bisa memeriksa di situs pemeriksa fakta dan melakukan verifikasi di alamat cekfakta.com, turnbackhoax.id, ataupun di snopes.com.
Narasumber lainnya, anggota Dewan Pers 2013-2019 Imam Wahyudi mengatakan, ada berbagai macam informasi yang beredar di internet, di antaranya informasi yang keliru, yakni satire atau parodi. Informasi yang keliru atau informasi yang salah, misalnya judul berbeda dengan isi atau juga informasi di negara lain disampaikan seakan terjadi di Indonesia.
Untuk itu, menurut Imam, pengguna digital harus memiliki sikap mental yang cukup dalam mengelola informasi yang beredar. Sikap mental tersebut yakni tidak mudah percaya atau skeptis. ”Lakukan verifikasi atau tabayyun ketika mendapat suatu informasi, sebelum membagikannya atau meneruskan informasi ke pengguna digital lainnya,” kata Imam.
Kemudian juga sikap mental kritis, yakni memperhatikan konteksnya. Termasuk mempelajari konteks waktu pengiriman informasi, latar belakangnya, dan kemungkinan motif pengirim informasi. Selanjutnya, pengguna digital juga harus bijak ketika mendapatkan suatu konten informasi. ”Perhatikan manfaat dan mudharat dari informasi tersebut. Kemudian perhatikan juga semua kemungkinan konsekuensi yang mungkin terjadi dari sebuah informasi,” ucapnya.
Diskusi virtual yang dipandu oleh moderator Adrian itu juga menghadirkan narasumber Bambang Barata Aji (Ketua Yayasan Dalang Nawan Banyumas), Sidik Pramono (Kepala Kankemenag Kabupaten Sleman), dan seniman Ones selaku key opinion leader. (*)
Post a Comment