Menjadi Masyarakat Pancasila berarti Harus Mampu Lindungi Diri dari Hoaks dan Ujaran Kebencian
Semarang – Indonesia adalah negara hukum yang dilandasi oleh Pancasila sebagai falsafah hidup berbangsa dan bernegara. Indonesia juga dikenal sebagai negara majemuk, multikulturalis dan demokratis.
Dengan status seperti itu, Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang toleran, ramah dan berbudaya. Khazanah kekayaan budaya yang dimiliki, menambah kuatnya akar nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila sebagai dasar negara.
”Toleransi, keramahan, dan kebudayaan sebagaimana terkandung dalam nilai-nilai Pancasila menghadapi tantangan di era digital,” kata aktivis penggerak budaya dan pemberdayaan masyarakat Imam Baehaqi saat menjadi pembicara dalam webinar literasi digital bertema ”Menjadi Masyarakat Pancasila di Era Digital” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (3/9/2021).
Imam Baehaqi menyatakan, era digital ini telah melahirkan intelegensi artifisial dalam era ’disrupsi’ dan ’post truth’. Disrupsi digital menurutnya adalah era terjadinya inovasi dan perubahan besar-besaran secara fundamental karena hadirnya teknologi digital, mengubah sistem yang terjadi di Indonesia maupun global.
”Adapun post truth, diartikan sebagai kondisi di mana fakta tidak lagi berpengaruh dalam membentuk opini publik, melainkan emosi dan keyakinan personal yang akan menentukan. Hoaks, fake news dan false news saat ini menjadi sebuah keniscayaan yang harus dihadapi masyarakat di era digital,” jelas Imam kepada 200-an partisipan webinar.
Untuk itu, lanjut Imam, internalisasi nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sangat penting dalam bermedia sosial. Implementasi kesadaran Pancasila dalam bermedia sosial bagi warganet Indonesia meliputi menjaga kerukunan dengan menghormati keyakinan dan agama orang lain, tidak bersikap rasis terhadap orang lain, tidak merasa benar sendiri dengan menegasikan kebenaran orang lain, apalagi memaksakan kehendak.
Imam menegaskan, menjaga harkat dan martabat kemanusiaan dalam interaksi dunia maya dengan memiliki kepekaan dan kepedulian sosial terhadap nasib warga yang mengalami aniaya dan ketidakadilan, ialah upaya menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Upaya itu harus disertai dengan selalu berpijak dan taat pada aturan hukum dan konstitusi yang ada.
Implementasi kesadaran Pancasila, lanjut Imam, juga berarti mengembangkan rasa cinta kasih ke sesama warganet, toleran dan menghormati pilihan politik yang berbeda, tetapi tetap saling bersaudara dalam satu bangsa. ”Ikut berpartisipasi dalam politik dengan menjaga kepercayaan kepada kebijakan negara untuk kepentingan bangsa,” tegasnya.
Kesadaran Pancasila, menurut Imam, artinya mengembangkan sikap kritis yang jujur dan terbuka terhadap informasi apa pun yang punya dampak pada kehidupan masyarakat dengan cara saring sebelum sharing, ikut menghentikan penyebaran berita hoaks yang merusak sendi perdamaian di masyarakat, dan perpartisipasi aktif dalam memproduksi konten positif (bernilai Pancasila), mendistribusi, serta partisipasi positif dalam media sosial.
Berikutnya, menjadi masyarakat Pancasila di era digital menurut wartawan senior Teguh Setiawan berarti harus mampu melindungi diri dari hoaks dan ujaran kebencian, sekaligus ikut berpartisipasi aktif dengan memeranginya. ”Hindari hoaks, perangi ujaran kebencian. Karena dua hal itu berbahaya dan memiliki daya rusak yang luar biasa,” tegasnya.
Menurut Teguh Setiawan, penyebab banyaknya hoaks di Indonesia di antaranya media tradisional bukan lagi satu-satunya saluran informasi,
media digital memungkinkan setiap orang bersuara dan mendistribusikan konten, media sosial menentukan komposisi halaman surat kabar, menurunnya kepercayaan terhadap media, serta modifikasi teori agenda setting.
”Kita bisa menghindari hoaks dengan cara waspada terhadap tajuk berita provokatif, perhatikan situs berita, periksa keakuratan data, periksa keakuratan gambar. Semua bisa dengan mudah dilakukan dengan mesin pencarian,” tegas Teguh.
Untuk memerangi ujaran kebencian, imbuh Teguh, bisa dengan cara minta pertanggungjawaban pengelola platform, semisal laporkan tweet, video, postingan Instagram, postingan Facebook, dan yang menyebarkan kebencian. Jelaskan secara spesifik apa yang menurut Anda menyinggung, dan mengapa.
Kemudian, tingkatkan kesadaran akan masalah, bicara dengan teman dan keluarga tentang ujaran kebencian yang menjadi kebiasaan baru, dukung orang-orang yang menjadi sasaran ujaran kebencian, lawan pesan berbahaya di tempat umum dengan berdiri bersama korban, tingkatkan pesan-pesan positif tentang toleransi.
”Jadilah model yang ingin masyarakat lihat. Informasikan ke organisasi yang memerangi kebencian, perlihatkan contoh terburuk. Lacak asal ujaran kebencian dan kepada siapa ditujukan,” pungkas Teguh.
Webinar yang dipandu moderator Rara Tanjung itu, juga menghadirkan narasumber Ali Formen Yudha (dosen UNNES Semarang), Dwi Eko Waluyo (Kepala Biro Kerjasama dan Urusan Internasional UDINUS), dan Rayhandhika Renarand (paskibra nasional 2015) selaku key opinion leader. (*)
Post a Comment