Mengendalikan Tutur dan Tata Krama di Ruang Digital
SRAGEN: Aktivitas masif masyarakat Indonesia di media sosial dan cara berkomentar yang kadang seolah tak terkontrol atau terfilter memantik perhatian berbagai kalangan. Iqbal Aji Daryono, kolumnis dan pegiat literasi digital, menyoroti satu temuan soal karakter sebagian warganet di Tanah Air yang dinilai malas membaca tapi sangat cerewet di media sosial.
Fakta ini diperoleh dengan membandingkan setidaknya dua data. Pertama, dari penelitian UNESCO: minat baca masyarakat Indonesia terendah kedua di dunia karena hanya 0,001 persen. Artinya, dari 1.000 orang Indonesia hanya 1 orang yang rajin membaca. Di sisi lain, data We Are Social pada Januari 2017, mengungkap orang Indonesia bisa menatap layar gadget hampir 9 jam sehari dan kecerewetan di media sosial urutan ke-5 dunia.
”Padahal, salah satu jebakan komunikasi di media digital yang harus diwaspadai adalah sikap gampang ngomong,” kata Aji saat menjadi pembicara dalam webinar literasi digital bertema "Privasi dan Keamanan di Dunia Digital" yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, Rabu (8/9/2021).
Dalam webinar yang diikuti 300-an peserta itu, Aji menuturkan, lebih dari setengah populasi Indonesia telah melek internet, namun tidak lantas seluruhnya memiliki etika bermedia digital yang sesuai norma kesopanan.
”Pengguna media digital memiliki karakter impulsif dan cenderung suka pamer,” kata Aji. Implusif di ruang digital yang dimaksud tak lain sikap bertindak asal, irasional, cepat berubah, dan kadang tidak logis yang ditunjukkan dari berbicara atau komentar asal tanpa alasan jelas atau nalar.
Hal ini didukung pula dengan karakter pengguna media sosial yang berimajinasi nir-identitas alias suka menyembunyikan identitas aslinya karena memiliki kepentingan-kepentingan tertentu. Terlebih media sosial memiliki ciri sekat interaksinya yang tak berbatas.
Narasumber lain dalam webinar ini, Kepala Sekolah SMP Birrul, Amir mengatakan, etika dalam ruang digital sebenarnya bisa ditegakkan melalui cara-cara sederhana namun patuh pada prinsip. ”Antara lain, bisa dilakukan dengan semangat kita yang memilah informasi dan meneruskan informasi yang positif saja di media sosial, bukan informasi menyesatkan, hoaks, dan memecah belah. Itu sudah menunjukkan bagian dari etika digital kita,” kata Amir.
Etika digital, sambung Amir, juga bisa dilakukan dengan cara memberi identitas pada akun media sosial secara jelas. Tanpa upaya atau keinginan akan melakukan kejahatan pada pengguna digital lainnya.
”Kita bisa menegakkan etika digital dengan memberi keterangan atas ide atau karya orang lain yang kita gunakan sebagai bentuk penghargaan hak atas kekayaan intelektual,” ujar Amir.
Amir menambahkan, etika digital yang perlu disebarluaskan adalah ketika berinteraksi kita memakai bahasa yang apik. ”Dalam artian, apik bahasa itu mengetahui ruang dan dengan siapa kita berinteraksi. Usahakan selalu sopan dan santun, mengutamakan tata krama ketika berkomunikasi dengan orang-orang yang dinilai lebih tua, juga orang-orang yang terlibat dengan kita di ruang formal seperti urusan pendidikan,” kata dia.
Dimoderatori Mifty Vasko, webinar ini juga menghadirkan narasumber: dosen Universitas Sahid Surakarta Farid Fitriyadi, founder Atsoft Technology Mujiantok, serta Brigita Ferlina selaku key opinion leader.(*)
Post a Comment