Menengok Jembatan Bantar, Saksi 17 kali Pertempuran Era Kemerdekaan
WARTAJOGJA.ID: Jembatan Bantar yang melintang di atas Kali Progo wilayah Kulonprogo tidak hanya menjadi benda cagar budaya tetapi juga memiliki cerita yang teramat panjang, dimulai dari zaman Belanda, perang kemerdekaan bahkan hingga sekarang.
Jembatan yang menghubungkan Kulonprogo dengan Bantul ini juga menyimpan kisah-kisah heroik tatkala tentara Indonesia berperang melawan Belanda. Bahkan di sekitar jembatan yang tidak jauh dari jembatan kereta api tersebut tercatat terjadi 17 kali pertempuran. Ini karena fungsinya memang sangat vital.
Kisah tersebut diceritakan kembali oleh Indroyono Soesilo, seorang tokoh yang secara khusus melakukan penelitian tentang sejarah di balik jembatan tersebut, bersama Komunitas Jogja 45.
“Kami melakukan studi literatur. Kita cari informasi dari dalam negeri maupun luar negeri mengenai jembatan Bantar. Ternyata luar biasa nilai-nilai yang berhasil kita angkat,” ungkapnya pada peresmian Museum Monumen Perjuangan Jembatan Bantar di Towil Fiets, Jumat (24/9/2021), yang juga dihadiri Bupati Kulonprogo Sutedjo maupun Letkol Ilham dari Akademi Militer (Akmil) Magelang.
Pada museum tersebut terpajang foto-foto koleksi dari Belanda maupun dari Indonesia. Di sana tergambar suasana jembatan Bantar tempo dulu maupun keberadaan tentara Belanda yang berjaga dengan tank. Menariknya lagi, foto-foto tokoh-tokoh pejuang Indonesia beserta kisahnya terkait jembatan tersebut juga disuguhkan secara gamblang.
“Jembatan Bantar menghubungkan Wates dan Bantul berarti sampai Kebumen dan Purworejo, waktu itu hanya ada jembatan kereta api, orang nyeberang naik rakit,” ungkap Indroyono yang juga putra dari Jenderal (Purn) Soesilo Soedarman itu.
Pria yang pernah menjadi Penasihat Kehormatan Menteri Pariwisata 2015-2019, Menko Maritim 2014-2015 dan hingga kini menjadi Ketua Dewan Kurator Museum Soesilo Soedarman Cilacap ini menjelaskan, pendirian museum Jembatan Bantar yang terletak sekitar 100-an meter dari lokasi jembatan itu dimulai awal Februari 2020.
“Pada Februari 2020 kami didatangi Komunitas Jogja 45 yang melestarikan situs-situs perjuangan. Mereka bercerita tentang Jembatan Bantar yang dijadikan monumen perjuangan Menko Polkam RI Jenderal Soesilo Seodarman,” ungkapnya.
Dikisahkan, pada tahun 1916, Ir Verhoog & Ir Jurgensen West dari Burgerlijek Openbare Werken (Dinas Pekerjaan Umum -Yogyakarta), merancang sebuah jembatan gantung dengan teknologi paling modern pada zamannya. Bentuk desain jembatan adalah jembatan gantung karena Sungai Progo yang lebar dan sering banjir. Tiang pancang jembatan cukup dua pilar saja agar tidak bisa diterjang banjir.
Pembangunan dimulai tahun 1917, namun terhenti karena harga baja meroket pasca-Perang Dunia I. Pembangunan dilanjutkan pada tahun 1928 dan selesai 1929.
Baja-Baja untuk jembatan dibuat di Pabrik “Werkspoor”, Utrech, Belanda. Baja-Baja itu diangkut dari Belanda dengan kapal laut dan tiba di Pelabuhan Cilacap April 1928, kemudian diangkut dengan kereta api hingga tiba di Stasiun Sentolo dan Sedayu. “Pembangunan berlangsung kurun waktu tahun 1928 sampai tahun 1929,” jelasnya.
Akhirnya, pada 17 Juni 1929 Jembatan Bantar diresmikan oleh Gubernur Yogyakarta JE Jasper dan diberi nama Gouverneur Jasperbrug. “Biaya total Pembangunan jembatan sebesar 455.000 Gulden, dibagi rata antara Pemerintah Kolonial Belanda dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat,” jelasnya.
Jembatan Bantar, yang diresmikan pada 17 Juni 1929, merupakan jembatan gantung sepanjang 180 meter dan pembangunannya menerapkan teknologi paling modern pada zamannya.
Pada 28 Juni 2021, Jembatan Bantar telah ditetapkan sebagai Struktur Bangunan Cagar Budaya melalui Keputusan Gubernur DIY, No.171/KBP/2021.
Era perang kemerdekaan
Pada era Perang Kemerdekaan II, 1948 – 1949, tepatnya 19 Desember 1948, Ibukota Perjuangan Yogyakarta diserbu Pasukan Belanda dari Brigade T (Tijger Brigade) dipimpin Kolonel Van Langen.
Pimpinan Nasional Soekarno - Hatta ditawan dan diasingkan. Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dibentuk di Bukit Tinggi Sumatera Barat, dipimpin Mr Sjafrudin Prawiranegara. Melalui Perintah Siasat No.1/th.1948, Panglima Besar Jenderal Soedirman memerintahkan satuan satuan TNI untuk menyingkir dari Kota Yogyakarta menuju luar kota guna memulai Perang Gerilya Semesta.
Selanjutnya, di Wilayah Yogyakarta dibentuk Wehrkreise III (Daerah Perlawanan III), dipimpin Letkol Soeharto dan Yogyakarta dibagi menjadi 6 Sub-Wehkreise (SWK). Wilayah Kulonprogo masuk kedalam Sub-Wehrkreise 106/WK-III (SWK-106/WK-III), dipimpin Letkol Soedarto dengan kekuatan satuan-satuan Brigade 17/Tentara Pelajar dan Satuan Hisbullah.
Menurut Indroyono, Jembatan Bantar merupakan lokasi strategis yang selalu diperebutkan antara gerilyawan TNI dengan tentara Belanda karena jembatan ini menghubungkan Yogyakarta ke wilayah Barat hingga Purworejo dan Kebumen.
Tentara Belanda yang beroperasi di wilayah Sentolo, Wates, Bantul dan Kulonprogo menjaga Jembatan Bantar, yaitu dari Resimen Infanteri 5 (5-RI) Belanda dipimpin Mayor H Vaessens, dari Batalyon 5, Regiment Stoottroepen (5-ST) Belanda dan dari Skadron Tank ke-7 Belanda dipimpin Kapten J R Schoemaker.
Pertempuran hebat antara Gerilyawan TNI dengan tentara Belanda di Jembatan Bantar berlangsung beberapa kali. Pada 23 dan 24 Februari 1949, Letkol Soeharto memimpin unsur SWK 103A/WK-III dan Kompi Sudarsono Bismo menyerang kedudukan Belanda di jembatan Bantar, Kulonprogo.
Kompi Sudarsono Bismo datang dari arah Purworejo dengan kekuatan 200 prajurit dan memiliki senjata senapan mesin berat. Serangan besar terhadap Bantar dilakukan pada 24 Februari 1949. Saat itu, Sungai Progo banjir. Pasukan Letkol Soeharto menyusup malam hari, sementara itu Kompi Sudarsono Bismo menyerang Bantar dari arah timur sungai.
Dalam serangan ini, ikut juga Batalyon 151 yang dipimpin oleh Harjo Soedirdjo.
Batalyon 151 ini menyerang dari arah utara jalan raya. Turut membantu serangan ini adalah satuan SWK 106/WK-III dipimpin Letkol Soedarto, yang mengerahkan unsur-unsurnya untuk mendukung serangan, terutama dari arah barat daya jalan raya, sehingga kedudukan Belanda di Bantar- Klangon praktis terkepung.
Pada Serangan Oemoem 1 Maret 1949, Satuan SWK 106/WK-III, dipimpin Letkol Soedarto melakukan operasi di daerahnya yaitu wilayah Kulonprogo. Pada 1 Maret 1949, sejak pukul 06:00, bersamaan dengan SWK-SWK lainnya menyerang kedudukan Belanda di Yogyakarta.
SWK 106/WK-III mulai melaksanakan tugasnya mengikat Belanda dalam kedudukannya.
Kedudukan Belanda yang paling kuat adalah di Jembatan Bantar, terletak di perbatasan SWK 103, 103A, dan 106. Di Jembatan Bantar, Pasukan Belanda berkekuatan satu kompi serta dijaga tank Brencarrier.
Untuk mengikat Belanda di jembatan Bantar, Letkol Soedarto mengarahkan Seksi Staf Pengawal menekan dari arah barat dan Pasukan Hisbullah pimpinan Noer Moenir menekan dari arah timur.
SWK 106/WK-III merupakan lingkaran pengamanan dalam untuk mencegah bala bantuan Belanda dari arah barat. Tugas tercapai, Pasukan Belanda di Bantar tidak dapat bergerak membantu Pasukan Belanda yang terkepung di Yogyakarta.
Pada 8 Maret 1949, Letkol Soeharto memimpin dua kompi gerilyawanTNI, meninggalkan markasnya di Segoroyoso menuju Bantar.
Serangan terhadap kedudukan Belanda di Bantar dilakukan 11 Maret 1949.
Di Bantar/Klangon, pos-pos Belanda diserang dari dua arah. Kompi Kapten Widodo menyerang dari sebelah utara jalan raya dan Kompi Soedarsono Bismo menyerang dari sebelah selatan jalan raya. Sedangkan Pasukan SWK 106/WK-III menyerang Belanda dari sebelah barat.
Diperkirakan, kekuatan pasukan Belanda yang menguasai jembatan Bantar sebesar satu kompi plus.
Selain menyerang Bantar, Kompi Sudarsono Bismo juga mengadakan penghadangan di sekitar Pedes untuk mencegah bantuan Belanda yang datang dari arah Yogyakarta.
Pasukan Batalyon 151 dipimpin Harjo Soedirdjo membantu menghadang di sekitar Glodog.
Bantar dikepung lima hari. Pada hari pertama, dilakukan serangan malam terhadap kedudukan Belanda di Bantar. Kompi Kapten Widodo berhasil merebut dan menduduki salah satu pos Belanda dan merampas sejumlah senjata jenis Watermantel dan Senapan Mesin Sedang (SMS) Vickers.
Indroyono Soesilo menambahkan begitu strategisnya Jembatan Bantar sampai-sampai Belanda mengerahkan kekuatan udara. Sekitar pukul 07:00, pesawat P-51 Mustang AU Belanda memberondong kedudukan Kompi Kapten Widodo di sekitar Jembatan Bantar.
Dalam pertempuran Bantar ini, Kompi Kapten Widodo menderita kerugian empat prajurit gugur dan 23 luka-luka. Keempat prajurit yang gugur dimakamkan oleh penduduk di sekitar Gamping. Belanda kehilangan sepuluh orang prajuritnya tewas, dua unit truk hancur dan sejumlah senjata dirampas TNI.
Kompi Kapten Widodo dan Kompi Soedarsono Bismo meninggalkan Bantar pada 17 Maret 1949 menuju Godean.
Guna mengenang Peristiwa Heroik Gerilyawan TNI bertempur dengan Tentara Belanda di Bantar, maka pada 1 Maret 1995, Jembatan Bantar diresmikan sebagai Monumen Perjuangan oleh Menko Polkam RI pada waktu itu, Jenderal (Purn) Soesilo Soedarman, selaku Ketua Umum Pagubuyan Wehrekreise III.
Paguyuban ini adalah tempat berhimpun para mantan pejuang dan mantan gerilyawan yang pernah bertempur di Daerah Perlawanan III, Yogyakarta, pada kurun 1948 - 1949.
Letkol Ilham menambahkan, Jembatan Bantar sangat strategis sebagai penghubung antar-markas. “Karena dianggap vital maka harus dikuasai oleh pasukan kita. Terjadi 17 kali pertempuran. Taktik militer pasti begitu. Medan kritis yang penting harus kita kuasai untuk melemahkan musuh. Jembatan ini menghubungkan garis logistik dan pergerakan personel,” jelasnya.
Tak hanya dari wujudnya secara fisik berupa konstruksi yang unik dan menarik, keberadaan Jembatan Bantar juga potensial dikembangkan untuk pariwisata. Inilah yang dilakukan seorang pegiat pariwisata, Muntowil. Jembatan tersebut menjadi salah satu destinasi minat khusus dengan sasaran wisatawan dari Eropa khususnya Belanda.
Bupati Kulonprogo Sutedjo memberikan apresiasi sekaligus dukungan untuk mengangkat sisi-sisi sejarah yang sangat berharga itu, tujuannya agar diketahui oleh generasi muda maupun wisatawan. (Cak/Rls)
Post a Comment