Memahami Karakter Generasi di Media Digital
KENDAL : Direktur Eksekutif LP3ES yang juga dosen Ilmu Politik Universitas Bakrie, Jakarta Fajar Nursahid mengungkap masifnya keberadaan digitalisasi yang, salah satunya, ditandai dengan hadirnya media sosial. Digunakan oleh masyarakat Indonesia dari berbagai usia dan kalangan, media sosial telah turut mengubah karakter perilaku warga penggunanya.
"Satu cirinya, karakter masyarakat digital tidak menyukai aturan yang mengikat. Mereka tidak suka diatur dan cenderung independen," ujar Fajar saat menjadi pembicara dalam webinar literasi digital bertema "Bangun Demokrasi di Media Digital" yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, Senin (6/9/2021).
Dalam webinar yang diikuti 673 peserta itu, Fajar Nursahid membeberkan, independennya generasi di era digital ini karena tersedianya banyak opsi pemikiran dan pilihan alternatif di ruang digital. Baik dalam penyediaan wacana politik, ekonomi, sosial maupun keagamaan.
Fajar menuturkan, di era digital ini pun masyarakat relatif lebih senang mengekspresikan diri melalui platform media sosial. Mereka akan merasa tidak ada atau eksis jika tidak mengunggah sesuatu di media sosial. Cenderung mencari sendiri konten atau informasi yang dibutuhkan. Bukan dari kepatuhan instruksi saling berinteraksi di media sosial.
Lebih jauh, terkait dampak digital pada perubahan perilaku masyarakat itu, lanjut Fajar, internet telah mengubah kebiasaan orang dalam mengkonsumsi informasi. Internet sebagai tumpuan mencari informasi karena website dan media sosial menyediakannya, meskipun tak semua informasi itu valid dan benar.
”Memang sangat banyak hal yang terjadi dalam 1 menit di internet. Ada sekitar 1 juta orang membuka Facebook dan 4,5 juta video ditonton di YouTube, ruang digital telah menjelma menjadi belantara informasi walaupun tidak semua informasi itu bernilai informatif," tegasnya.
Hanya saja, imbuh Fajar, banjirnya informasi itu lambat laun ikut mengurangi ketidakpastian karakter informasi era digital. "Patut diingat, di era belantara informasi ini tidak ada otoritas tunggal lagi. Sumber informasi bukan hanya dari pemerintah," kata dia. Melainkan, juga hadir melalui media sosial semacam Twitter, Facebook, Instagram, Tik Tok, YouTube yang sudah menjadi media alternatif yang memproduksi informasi.
”Keunggulan ruang digital itu memang bebas memproduksi isu apa saja secara terbuka, aksesnya juga tidak terbatas dan memiliki fitur pelipatgandaan pesan lewat retweet, mention, tagar dan lain-lain," urainya.
Dari situ, Fajar mengaitkan dengan nasib kehidupan demokrasi di era digital ini. Asumsi demokrasi perlu dilihat ulang konteksnya. "Memang benar kebebasan adalah pilar penting demokrasi. Tapi kebebasan dalam demokrasi juga ada batasnya. Kebebasan dalam demokrasi adalah kebebasan yang harus bisa dibingkai nalar atau akal sehat dengan naluri dasar manusia," ujarnya.
Ada setidaknya delapan ciri demokrasi yang perlu dipahami. Fajar merinci, yakni: kebebasan membentuk dan bergabung dalam organisasi, kebebasan menyampaikan pendapat, hak memilih dalam pemilu, hak menduduki jabatan publik, hak memperoleh suara atau dukungan rakyat, informasi alternatif pemilu yang bebas dan jujur, adanya lembaga-lembaga yang menjamin kebebasan publik dan membentuk asosiasi.
"Jadi, tantangan demokrasi di era digital lebih pada polarisasi kehidupan maya atau online yang telah mengubah realitas dunia nyata atau offline. Budaya kita sekarang dikonstruksi oleh media digital, padahal media sosial satu sisi mudah memicu konflik," katanya.
Konflik dari media sosial dipicu karena tingkat literasi yang masih rendah, karakter pengguna yang irasional dan emosional ketika berhadapan dengan pandangan politik yang berbeda. ”Tantangan demokrasi digital, termasuk di dalamnya ancaman terhadap kebebasan berpendapat. Padahal, berpendapat dari masyarakat relatif tinggi dan intens di ruang digital. Kita juga menghadapi tantangan lain seperti budaya hoaks, sebab media sosial dan saluran chatting jadi saluran paling subur penyebar ujaran kebencian," tegasnya.
Narasumber lain dalam webinar itu, dosen Ilmu Komunikasi Fisipol UGM Wisnu Martha Adiputra mengatakan, memahami ruang digital sebagai ruang publik perlu dilakukan terus menerus kepada pengguna. Dalam ruang publik, media sebagai salah satu pendukung ruang publik dan bentuknya yang paling nyata adalah aspek terpenting.
"Ruang publik menjadi wilayah pembentukan opini publik, dan media mendorong diskusi yang berkualitas antarpublik atas masalah bersama untuk menghindari permasalahan seperti trivialisasi, komersialisasi, sekedar pengamat, apatisme dan fragmentasi," tegasnya.
Dimoderatori oleh Nabila Nadjib, webinar ini juga menghadirkan narasumber lain, yakni pegiat alterasi Indonesia Titok Hariyanto, CEO Pasardesa.id M. Sholahuddin serta seniman Dibyo Primus selaku key opinion leader. (*)
Post a Comment