Hati-hati Berinternet, Kendalikan Ruang Digital dengan Menyebarkan Hal Positif
Pati - Derasnya arus informasi di era teknologi yang berkembang pesat saat ini, harus diimbangi kemampuan digital ethics bagi penggunanya. Digital ethics merupakan kemampuan individu dalam menyadari, mencontohkan, menyesuaikan diri, merasionalkan, mempertimbangkan dan mengembangkan tata kelola etika digital dalam kehidupan sehari-hari.
Hal tersebut dikatakan oleh Co-Founder Localin, Fakhriy Dinansyah, dalam webinar literasi digital dengan tema ”Pilah Pilih Informasi di Ruang Digital” yang digelar Kementerian Kominfo dan Debindo untuk warga Kabupaten Pati, Jawa Tengah, pada Senin (6/9/2021).
Fakhry mengatakan, menggunakan media sosial mestinya dilakukan pada suatu niat sikap, dan perilaku yang etis demi kebaikan bersama, meningkatkan kualitas bersama dan meningkatkan kualitas kemanusiaan. ”Apalagi di Indonesia yang multikultur. Etika digital sangat relevan dipahami dan dipraktikkan oleh semua warga Indonesia,” katanya.
Menurut Fakhry, sama seperti komunitas, forum digital juga mempunyai aturan dan tata tertib tertentu, menyangkut batasan dan cara yang terbaik memanfaatkan fasilitas internet, yakni etiket berinternet atau yang lebih dikenal dengan netiket, yaitu: tata krama dalam menggunakan internet.
”Hal paling mendasar dari netiket adalah kita harus selalu menyadari bahwa kita berinteraksi dengan manusia nyata di jaringan yang lain. Bukan sekadar dengan deretan karakter huruf di layar monitor, namun dengan karakter manusia sungguhan,” ujarnya.
Adapun ruang lingkup etika digital, yang pertama adalah kesadaran. Yakni, melakukan sesuatu dengan tujuan, bukan tindakan yang otomatis atau spontan. Kedua, integritas, yakni tidak tergoda untuk bertindak tidak jujur, seperti pelanggaran hak cipta atau plagiasi. Ketiga, tanggung jawab yakni berkaitan dengan dampak atau akibat dari suatu tindakan. Kemudian yang keempat, kebajikan, yakni menyangkut hal-hal yang bernilai kemanfaatan, kemanusiaan, dan kebaikan.
Fakhry juga mewanti-wanti agar mewaspadai konten-konten negatif yang tentunya menyasar pengguna internet. Maksud konten negatif, yaitu informasi dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan atau pencemaran nama baik, pemerasan atau pengancaman, penyebaran berita bohong dan menyesatkan sehingga mengakibatkan kerugian bagi pengguna.
”Konten negatif juga diartikan sebagai substansi yang mengarah pada penyebaran kebencian atau permusuhan berdasarkan suku, agama, ras dan golongan,” ucapnya.
Narasumber lainnya, content writer Kaliopak.com Luqman Hakim mengatakan, ada beberapa varian dari konten negatif seperti kekerasan, permusuhan SARA, penyesatan agama, berita bohong atau hoaks, pornografi, perjudian dan spekulasi keuangan.
Untuk itu, pengguna harus bisa menilai validitas informasi dalam konten teks, visual maupun suatu situs. Kemudian, melakukan cek fakta dan sumber dari informasi tersebut. ”Pengguna juga harus memahami, siapa yang diuntungkan dan dirugikan atas konten tersebut, dan menanyakan pada diri sendiri apakah konten ini bermanfaat atau tidak,” katanya.
Menurut Luqman, era disrupsi informasi di ruang digital ini memunculkan berbagai dampak seperti kesempatan akses informasi meluas, otoritas keilmuan meluas yang memunculkan fenomena matinya kepakaran.
Kemudian, kemudahan dan keinstanan membunuh kreativitas dan daya analitis, serta viral yang menjadi tujuan utama, sedangkan soal hoaks atau fakta ditimbang belakangan. ”Kendalikan ruang digital dengan hal-hal yang positif, atau kita yang akan dikendalikan olehnya,” ucapnya.
Diskusi virtual yang dipandu oleh moderator Glenys Octania itu juga menghadirkan narasumber Kamilia Hamidah (dosen Institut Pesantren Mathaliul Fatah Kajen Pati), Iqbal Aji Daryono (penulis dan kolumnis), dan News Anchor RCTI Shafinaz Nachiar, selaku key opinion leader. (*)
Post a Comment