Curhat tentang Action Figure Asing hingga Digitalisasi Budaya Tradisi
TEMANGGUNG: Pegiat literasi komunitas Temanggung, Al Farid SM, tak tahan ingin ngudoroso alias curhat. Hal itu ia sampaikan saat tampil dalam webinar literasi digital bertema ”Pertemuan Budaya Tradisional dengan Kemajuan Teknologi Digital”, yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk masyarakat Kabupaten Temanggung, 5 Juli 2021.
Sembari menahan geramnya hati, sebagai seniman dan budayawan lokal Al Farid mencurahkan amatannya pada fenomena budaya yang marak terjadi di sejumlah objek wisata di seputar Karesidenan Kedu, termasuk Temanggung, yang terus berulang.
Fenomena yang dimaksud adalah mengapa di banyak arena wisata, baik yang dimiliki pemda maupun swasta seperti beberapa waterboom dan objek wisata modern lainnya, semakin banyak menampilkan action figure asing seperti Doraemon, Power Rangers, Spiderman, dan Superman, untuk menemani anak-anak bermain di arena wisata.
”Padahal, ini momentum awal untuk mengenalkan budaya tradisional kepada anak, agar mencintai dan membuatnya tertarik. Mestinya kan bisa bikin action figure seperti Gatotkaca di masa bocah atau anak punakawan lucu yang bisa diselipkan di tarian kuda lumping. Jangan salah, di Temanggung ada 1.500 grup kesenian kuda lumping yang sebelum pandemi sudah makin kekurangan tampilan panggung atraksi. Jadi, jangan salahkan digitalisasi dan smartphone sebagai penyebab sepinya panggung tradisi. Keberpihakan para pelaku wisata sebelum pandemi sudah membuat mereka kurang penggemar,” tutur Al Farid prihatin.
Dosen Universitas Borneo Muhamad Tobroni punya amatan lain lagi. Kata dia, banyak undangan pengantin dan acara di sejumlah wilayah yang berwarga dominan Jawa, berulang menyelenggarakan pagelaran wayang pakeliran ringkas dengan aneka cerita. Tidak mesti semalam suntuk. Tapi kegiatan pekeliran seperti itu cuma jadi arena nostalgia.
”Di mana pun pagelaran wayang itu dilangsungkan, baik di Jawa, Sumatra atau Kalimantan dengan dalang dari Jawa, hanya sedikit warga kalangan baby boomer alias kasepuhan yang mau nonton. Digratiskan pun, remaja sekarang juga kurang suka nonton gelaran tradisi. Melihat itu, ke depan, budaya tradisional mesti dikemas dan disajikan dalam bentuk lain agar disukai generasi milenia,” kata Tobroni.
Digitalisasi untuk mengemas kegiatan tradisi memang satu pilihan, dan pernah dilakukan. Budayawan Bondan Nusantara di Yogyakarta misalnya, sempat beberapa episode mendigitalisasi pagelaran cerita ketoprak Mataram dan meng-upload-nya di Youtube. Namun, yang antusias merespons dan menikmati malah publik luar negeri yang merasa menemukan budaya baru.
”Walau kurang paham jalan ceritanya, tapi tontonan tradisional kita malah menjadi pilihan hiburan buat mereka, baik tua muda di Eropa, Amerika, juga Jepang dan Korea. Mereka mengirim message, mengaku menikmati dan menanyakan pertunjukan digital versi lainnya,” ujar Krisno Wibowo, pemred wartakampus.com, narasumber lain.
Menurut Krisno, realitas seperti itu tanpa sadar sebenarnya telah menjadi tandingan globalisasi budaya Barat, yakni dengan masuknya budaya tradisional kita mendekati hati orang Barat dan luar negeri lainnya agar mengenal dan menyukai budaya kita. Satu langkah yang butuh kesinambungan.
”Syukur kalau kelak karya-karya budayawan ketoprak dan wayang bisa dilindungi hak ciptanya dan di-monetize video digitalnya di Youtube, tentu akan semakin banyak seniman dan budayawan yang tertarik memproduksi konten budaya tradisional. Tidak hanya di Youtube, bisa juga potongan dagelan Jawa masuk di TikTok, Instagram atau Facebook, dan upaya itu sudah mulai terlihat,” papar Krisno.
Selain Krisno, Al Farid dan Tobroni, diskusi virtual yang dimoderatori Zacky Ahmad ini juga menampilkan Diana Belinda (fasilitator Kaizen Room yang juga owner bakery DND culinary), serta Aprilia Ariesta selaku key opinion leader.
Al Farid menambahkan, mengemas seni budaya tradisional menjadi kemasan lain memang sudah banyak dilakukan di zaman milenia ini. Meski, semangat awalnya bukan cari uang melainkan membuat karya modern dari budaya lokal. Al Farid mencontohkan, sudah banyak anak muda yang bikin gim dan action figure untuk karya gim online dari tokoh wayang, dan laku dibeli oleh produser asing, bahkan dibayar dengan dolar.
”Ini yang perlu terus dikembangkan. Mestinya, di banyak objek wisata di sini dan tokoh pertelevisian Indonesia mau memproduseri itu. Kalau dikemas dan desain menarik, kaum milenia dan anak-anak penerus bangsa tentu akan suka, lo,” kata Al Farid, dengan mimik serius. (*)
Post a Comment