Budaya Membaca dan Berpikir Kritis, Itu yang Mesti Dimiliki Generasi Muda di Era Digital
Kudus - Media digital memudahkan setiap penggunanya untuk saling berbagi informasi. Perkembangan media digital yang pesat memungkinkan orang mendapatkan informasi bisa berasal dari mana saja, dan bersumber dari siapa saja. Namun, ketidakpahaman dan ketidaksiapan menerima media digital membuat penyalahgunaan digital merebak. Akibatnya bisa mengoyak kehidupan pribadi dan sosial.
Kehadiran media sosial menjadi bagian perkembangan internet. Kehadiran media sosial menawarkan berbagai cara untuk berinteraksi, berkomunikasi dan bersosialisasi dengan fitur-fitur pendukung yang sangat menarik.
Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Fisipol UGM, Wisnu Martha Adiputra mengatakan, di era digital saat ini generasi muda atau siswa harus memiliki budaya membaca dan berpikir kritis. Selain itu, juga kemampuan membaca saat menjadi pengguna digital, yakni: memahami konten dan realitasnya. Budaya membaca berkaitan dengan literasi, literasi media, dan literasi digital.
”Memahami rangkaian huruf dan maknanya, juga memahami berbagai format konten tertulis, audio, video dan multimedia,” kata Wisnu dalam webinar literasi digital dengan tema ”Budaya Membaca dan Berpikir Kritis bagi Siswa di Era Digital” yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk warga Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, Selasa (7/9/2021).
Sedangkan yang dimaksud berpikir kritis, yakni: memiliki kompetensi dalam mengelola informasi dan menggunakan media. Lalu mampu memilah, memilih dan mengevaluasi informasi serta memahami realitas atau pengetahuan yang mendalam.
”Berpikir kritis ini juga sama dengan mencari hal yang tidak sesuai secara normatif. Menggunakan prinsip 5W 1 H, terutama elemen why (mengapa),” tegas Wisnu kepada 240-an partisipan webinar.
Adapun kemampuan yang perlu dimiliki siswa di era digital, menurut Wisnu, yakni literasi digital yang merupakan pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan media digital, alat-alat komunikasi atau jaringan dalam menemukan, mengevaluasi, menggunakan, membuat informasi, dan memanfaatkannya secara sehat, bijak, cerdas, cermat, tepat, dan patuh hukum dalam rangka membina komunikasi dan interaksi dalam kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya, kemampuan menyeleksi, yakni kecakapan mengacu pada kemampuan individu untuk memilih dan memilah konten yang diterima melalui media digital dengan mengintegrasikan sudut pandangnya sendiri dan untuk menyusun kembali konten.
Lalu, cakap dalam mendistribusikan, dengan mengacu pada kemampuan individu untuk menyebarkan informasi yang ada di tangan mereka. ”Kecakapan ini biasanya melibatkan proses berbagi informasi dan pengetahuan,” ujarnya. Selanjutnya ialah bisa menganalisis, atau kemampuan individu untuk memilah berbagai elemen konten dan potensi motif dari konten tersebut.
Narasumber lainnya, Researcher Center for Population and Policy Studies UGM, Novi Widyaningrum mengatakan, pengguna digital harus mempunyai budaya yang baik. Budaya digital yang baik adalah kemampuan individu dalam membaca, menguraikan, membiasakan, memeriksa, dan membangun wawasan kebangsaan, nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Novi, dengan memiliki budaya digital yang baik, maka bisa meminimalkan risiko terkena dampak buruk paparan konten negatif seperti hoaks. ”Salah satu penyebab orang percaya dengan hoaks adalah karena keterbatasan informasi yang didapatkannya,” ucap Novi.
Diskusi virtual yang dipandu oleh moderator Eva Jalesveva itu, juga menghadirkan narasumber Eko Yuniarto (Kepala Perpustakaan Sabaku), Dian Vitayani Winahyu (Sekretaris Dinas Pendidikan Kepemudaan dan Olahraga Kabupaten Kudus), dan anggota @intothelightid Shafa Lubis selaku key opinion leader. (*)
Post a Comment