Berkomentar Etis, Wujud Budaya Warganet Indonesia
Klaten - Sudah jamak bagi masyarakat Indonesia menggunakan media sosial sebagai ruang berekspresi. Bahkan jika dilihat, waktu yang digunakan bermedia sosial mencapai rata-rata tiga jam lebih. dari rentang waktu tersebut banyak hal ditemui di ruang digital.
Dosen Universitas Ngurah Rai I Gusti Putu Widya Goca dalam webinar literasi digital dengan tema "Bijak Berkomentar di Ruang Digital" menyoroti isu perundungan siber atau cyber bullying. Perbuatan tidak etis tersebut banyak ditemui di media sosial dalam beragam bentuk. Ironisnya, kadang pengguna media digital tidak sadar jika komentar yang disampaikan termasuk perbuatan negatif dan tidak etis ketika berinteraksi di ruang digital.
"Banyak komentar tidak etis kita temukan pada sebuah postingan. Kata-kata sederhana seperti "kok gendutan" masih dianggap hal biasa oleh kebanyakan masyarakat tanpa paham efeknya yang mungkin dapat menurunkan rasa kepercayaan diri seseorang. Maka harus disadari sebelum komentar untuk menata kalimat agar bisa diterima atau layak diterima orang lain," jelas I Gusti Putu Widya Goca dalam Zoominar yang diselenggarakan Kominfo RI untuk masyarakat Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Senin (27/9/2021)
Ada tiga orang yang terlibat dalam perundungan di media sosial yaitu, pelaku, korban, dan bystander atau orang yang ada di sekitarnya. Pada fenomena perundungan, peran bystander penting untuk lebih condong memberhentikan terjadinya perundungan, bukan hanya menonton korban.
"Sebagai pihak ketiga, bystander memiliki peluang untuk mengontrol keadaan. Apakah mau menjadi penonton saja atau memperbaiki keadaan. Namun secara etika digital, berpartisipasi menghentikan rantai perundungan merupakan tindakan positif untuk mengurangi kejadian lain terulang," terangnya kepada 160-an peserta webinar tentang etika digital.
Etika digital yang digunakan dalam berekspresi dapat dilakukan dengan rumus THINK, atau berpikir. Yaitu berpikir ulang tentang kebenaran (true) pada sebuah unggahan sebelum melontarkan komentar, sebab dalam sebuah unggahan di media sosial ada fakta atau cerita yang tidak disampaikan. Kemudian berpikir ulang apakah kata-kata yang akan disampaikan itu dapat membantu atau bermanfaat (helpfull) serta memberikan motivasi (inspiring) untuk orang lain.
"Sebelum berkomentar baiknya memastikan apakah kalimat atau informasi itu perlu dan penting (necessary) untuk disampaikan. Serta yang menjadi kunci apakah komentar yang akan kita sampaikan akan memberikan dampak yang baik (kind). Bijak berkomentar itu penting sebab terkadang jari-jari kita lebih cepat bertindak daripada pikiran kita," jelasnya.
Menyambung diskusi, dosen Universitas Budi Luhur Denik Iswardani Witarti mengamini bahwa dalam berkomentar harusnya mengedepankan budaya Indonesia, yaitu etika berinteraksi.
"Bicara berkomentar di ruang digital mengingatkan kita untuk lebih bijak. Hak bebas berekspresi di ruang digital itu dibatasi oleh hak-hak pengguna lainnya. Artinya jangan sampai kita melanggar hak asasi orang lain," jelas Denik.
Ia mencontohkan bentuk komentar yang tertangkap pada unggahan kegiatan keagamaan oleh umat Buddha di live instagram yang dibanjiri dengan komentar negatif penganut agama lainnya. Padahal budaya Indonesia yang multikultural tidak sepantasnya memandang perbedaan sebagai sebuah anomali, melainkan harus dihormati dan dihargai.
"Kita kadang lupa dibalik gawai yang kita gunakan untuk berkomentar berekspresi itu ada orang lain yang bisa terluka dan tersinggung atas komentar tidak etis. Sudah menjadi tugas kita untuk membiasakan agar ketika berkomentar di ruang digital juga membawa budaya unggah ungguh yang kita pelajari di kehidupan nyata," imbuhnya.
Dengan membiasakan think before posting akan membentuk budaya baru untuk berperilaku positif di ruang digital.
Kegiatan yang dipandu oleh entertainer Bobby Aulia hari ini juga menghadirkan narasumber lainnya: filmmaker Zahid Asmara dan peneliti Alterasi Indonesia Sunaji Zamroni, serta data analyst Ken Fahriza sebagai key opinion leader.
Webinar literasi digital merupakan gerakan nasional untuk mengajak masyarakat Indonesia lebih cakap digital dengan menguasi empat pilar literasi digital: digital skill, digital safety, digital ethics, dan digital culture. (*)
Post a Comment