Beretika Menjunjung Hak Atas Kekayaan Intektual (HAKI) di Ruang Digital
TEGAL : Pengampu Social Media Communication PT Cipta Manusia Indonesia Annisa Choiriya Muftada menuturkan, Indonesia telah memiliki sistem perlindungan hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) demi menjamin perlindungan dan kesejahteraan masyarakatnya.
Namun, diakui Annisa, belum banyak lapisan masyarakat – khususnya pengguna ruang digital – memahami benar apa yang disebut dan masuk dalam HAKI ini. Sehingga, berbagai pelanggaran dan aduan terus terjadi baik disengaja maupun tak disengaja.
"Hak atas kekayaan intelektual merupakan hak eksklusif yang timbul sebagai hasil olah pikir serta kreativitas yang membuahkan produk atau proses yang berguna bagi manusia. Yang dimaksud eksklusif di sini adalah hak untuk memperoleh keuntungan ekonomi dari produk yang dilindungi oleh kekayaan intelektual tersebut," kata Annisa saat menjadi pembicara dalam webinar literasi digital bertema "Posting Konten? Hargai Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI)" yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Senin (6/9/2021).
Dalam webinar yang diikuti ratusan peserta itu, Annisa menguraikan jenis-jenis perlindungan kekayaan intelektual itu ada banyak ragamnya. Mulai dari hak cipta yang meliputi ilmu pengetahuan, seni, juga sastra. Ada pula hak paten yang meliputi temuan teknologi, produk, dan proses kerja yang memiliki fungsi teknis.
"Termasuk dalam HAKI adalah merek atau tanda atau nama dagang barang atau jasa," jelas Annisa. Yang mungkin masih jarang terdengar adalah soal indikasi geografis, juga bisa masuk HAKI sebagai tanda yang menunjukkan daerah asal barang atau produk dibuat. Begitu pula HAKI soal rahasia dagang di mana informasi bidang teknologi yang dijaga kerahasiaannya.
"Bisa juga meliputi varietas hasil kegiatan pemuliaan suatu jenis tanaman, atau kreasi rancangan elemen elektronika atau juga bisa menyangkut produk yang mempunyai nilai estetis dua atau tiga dimensi," ujar Annisa.
Annisa mengatakan, kita bisa menjaga bersama agar hak atas kekayaan intelektual ini tidak dilanggar. Salah satunya dengan memiliki digital skills, yakni sebuah kemampuan individu dalam mengetahui, memahami, dan menggunakan perangkat keras dan piranti lunak teknologi informasi dan komunikasi serta sistem operasi digital mulai dari website hingga beragam aplikasi di smartphone.
Annisa mengatakan, pada umumnya pelanggaran atas hak cipta meliputi tindakan memperbanyak maupun menyebarkan karya ciptaan tanpa seizin dari pencipta atau pemilik hak cipta tersebut.
Bentuk-bentuk pelanggaran hak cipta bisa berupa pelanggaran dari pihak lain bukan pemilik hak yang memberi wewenang berupa persetujuan atau dukungan kepada pihak lain untuk kepentingan dagang atau komersial. Misalnya, memecah produk untuk dijual eceran dan didistribusikan tanpa seizin pemilik hak cipta, sampai memperbolehkan serta menyediakan tempat pembelian umum untuk digunakan sebagai tempat transaksi ilegal.
"Bisa dilihat dari pemantauan atau penayangan karya yang melanggar hak cipta ini. Bahkan yang populer, menyanyikan lagu karya orang lain pun harus tetap minta izin. Ini bagian melindungi karya dari pencurian di era digital," kata Annisa.
Untuk mencegah pencurian hak cipta ini, pemilik bisa menambahkan watermark, atau memakai barcode khusus. Disarankan Annisa, agar jangan pernah membagikan foto atau video dengan resolusi tinggi ke internet.
"Ingat, selalu tambahkan hak cipta pada file metadata. Baca ketentuan situs web sebelum Anda membagikan foto dan jika produk itu untuk kepentingan banyak orang bisa didaftarkan lebih dulu ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM," tegas Annisa.
Annisa lalu mengajak para pengguna digital untuk bisa menghargai karya orang lain dengan menerapkan beberapa langkah praktis. "Jangan asal ambil hasil karya orang lain di internet. Jangan berusaha mengubah atau menghilangkan watermark di hasil karya orang lain, apalagi mengaku sebagai pemilik karya. Jangan menyalahgunakan hasil karya orang lain dan budayakan mencantumkan sumber asli," tegas dia.
Narasumber lain webinar itu, pengajar Universitas Nahdlatul Ulama Al Ghazali (Unugha) Cilacap M. Fatikhun mengatakan, etika digital menjadi bagian penting menghormati dan menghargai HAKI di ruang digital. "Dengan etika digital ini pengguna diingatkan untuk menyadari, mencontohkan, menyesuaikan diri merasionalkan mempertimbangkan bahwa menggunakan media digital semestinya diarahkan pada suatu niat sikap dan perilaku yang etis demi kebaikan bersama," kata Fatikhun.
Fathikun menuturkan, ruang lingkup etika yang terpenting salah satunya soal kesadaran. Yakni, kesadaran dalam melakukan sesuatu dengan sadar atau memiliki tujuan. Karena media digital yang cenderung instan seringkali membuat penggunanya melakukan sesuatu dengannya tanpa sadar sepenuhnya dan tindakan itu terasa seperti otomatis begitu memegang gawai.
Etika digital juga terkait tanggung jawab yakni dengan dampak atau akibat yang ditimbulkan dari suatu tindakan maka bertanggung jawab adalah hal terbaik. Etika digital juga soal menjaga integritas yang dalam hal ini soal kejujuran karena media digital adalah dunia yang sangat berpotensi manipulatif, mudah dan menyediakan konten yang sangat besar hingga menggoda penggunanya bertindak tidak jujur dalam bentuk pelanggaran hak cipta. Misalnya plagiasi, manipulasi dan sebagainya.
"Etika digital juga soal integritas menjaga kebajikan menyangkut hal-hal yang bernilai kemanfaatan kemanusiaan dan kebaikan," kata Fathikun.
Webinar yang dimoderatori Malfin Rizqi ini juga menghadirkan narasumber lain, yakni Founder Jogjania.com Jota Eko Hapsoro, Pemimpin Umum Harian Radar Tegal M. Sekhun Ichrom, serta Victor Anindia selaku key opinion leader.
Post a Comment