Untung dan Buntung Transformasi Digital Berada di Genggaman
Tegal – Tema diskusi ”Transformasi Digital: Musibah atau Anugerah” kembali dibahas dalam webinar literasi digital yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), kali ini untuk masyarakat Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Kamis (26/8/2021). Kegiatan ini merupakan bagian dari program nasional literasi digital yang diusung Presiden Joko Widodo untuk meningkatkan kecakapan digital masyarakat dalam mengarungi transformasi digital.
Diskusi virtual pagi hari ini dipandu oleh mantan penyiar radio Dimas Satria bersama empat narasumber: Satriyo Wibowo (psikolog), Imam Sayekti (Kepala MTsN 2 Kabupaten Pekalongan), Jafar Ahmad (Direktur IDEA Institut Indonesia), dan Muhammad Nurkhoiron (mantan Komisioner Komnas HAM). Juga hadir seniman Endah Laras sebagai key opinion leader. Masing-masing narasumber menyampaikan materi diskusi dari sudut pandang empat pilar literasi digital: digital culture, digital skills, digital ethics, dan digital safety.
Jafar Ahmad memaknai tema diskusi hari ini dalam dua perspektif, yakni: untung dan buntung adanya transformasi digital. Transformasi digital menjadi keuntungan bagi individu jika digunakan untuk produktif atau justru akan memberikan kerugian jika hanya menggunakan teknologi untuk konsumsi saja.
Ia mengatakan, industri 4.0 telah mengintegrasikan antara dunia nyata dan dunia digital. Teknologi tidak lagi menjadi instrumen dan supporting system, tetapi sekaligus merupakan ekosistem, yakni selain teknologi menjadi alat tetapi kita juga diperalat oleh teknologi.
”Gim Higgs Domino, misalnya. Permainan judi digital ini dimainkan secara legal dan pada kenyataannya, sejumlah pengguna mengaku, ketika sudah memainkannya mereka akan sulit mundur karena memang dibuat dengan peraturan gim sedemikian rupa. Ini menggambarkan, transformasi digital telah mengatur kita. Dengan kata lain, jika kita merasa berat untuk tidak membuka media sosial, gim online atau produk teknologi lainnya, itu artinya kita sudah mulai tergantung dengan transformasi digital,” jelas Jafar Ahmad, mencontohkan.
Jadi sebenarnya, lanjut Jafar, ada atau tidaknya transformasi digital, perubahan akan tetap ada. Dan untuk bisa menyelaraskan diri, harus memenuhi tiga persyaratan untuk menjadi produktif, yakni harus cepat, murah, dan efektif atau bermanfaat. Ia melihat, transformasi digital akan mengubah sejumlah kebutuhan profesi. Sebab, pesatnya perkembangan teknologi dan artificial inteligence berpotensi menggantikan kerja manusia yang selama ini dilakukan, sekaligus membuka jenis profesi lainnya.
”Beberapa jenis profesi yang akan bermanfaat di masa depan adalah SEO specialist, yakni profesi yang membantu untuk mengakali mesin pencari agar langsung menuju halaman perusahaan. Data scientist, yang berfungsi mengumpulkan dan mengelola data pengguna internet menjadi big data yang berharga untuk kepentingan tertentu. Kemudian web developer, animator, dan social media specialist. Profesi ini di revolusi 4.0 sudah mulai banyak dibutuhkan dan akan terus berkembang hingga masa yang akan datang,” urai Jafar, kepada seratusan peserta webinar.
Sementara itu, dari perspektif digital safety, Satriyo Wibowo mengambil sub tema diskusi ”hidupmu di tanganmu”. Ia menyampaikan, di era transformasi digital kita sebagai manusia berperan dalam perubahan ini dan juga memiliki tanggung jawab atas diri kita, langkah apa yang bisa diambil dalam menghadapi transformasi digital.
Manusia saat ini tidak hanya berstatus sebagai makhluk sosial, tetapi juga makhluk digital. Namun yang perlu disadari dalam transformasi digital kita harus punya kendali untuk mengarahkan pada anugerah dan menghindarkan dari musibah. Itu sebabnya, kita harus mengenali karakter sebagai warga digital. Perbedaan antara generasi X, generasi Y, dan generasi Z dalam berkomunikasi dipengaruhi oleh transformasi teknologi pada masanya.
Generasi X, dalam berekspresi lebih banyak pertimbangan dan banyak memakai otak untuk berpikir sebelum menyatakan ekspresi. Generasi Y, mereka lebih memakai hati dan perasaan dalam berekspresi untuk menghasilkan ekspresi yang otentik. Sedangkan generasi Z memiliki karakter keduanya, sehingga dalam menghadapi perubahan mereka cenderung lebih cepat sekaligus otentik. Artinya, dalam berkomunikasi kita mesti sadar bahwa kita menghadapi orang yang berbeda-beda.
”Kita bisa mencapai kewargaan digital yang baik dengan membangun basic trust, yakni menumbuhkan rasa percaya bahwa dunia digital adalah tempat yang aman dan memberi harapan. Caranya dengan belajar beretika, menggunakan situs yang terpercaya, berbagi hal yang baik. Lalu mengembangkan basic skill, mempunyai kendali dalam menyelesaikan hal-hal secara digital. Seperti melatih cara berkomunikasi yang baik, crosscheck informasi sebelum disebar, dan berproduktivitas dengan baik,” urai Syatrio.
Dan terakhir, adalah membangun basic purpose, yakni mampu mencapai keinginan atau tujuan melalui digital. ”Hal ini dilakukan dengan memanfaatkan media sosial untuk membangun komunitas dan berkolaborasi, belajar dan mengembangkan diri, berkarya, dan berbagi kebajikan,” pungkasnya. (*)
Post a Comment