Siapa Takut?! Ayo, Lawan Kejahatan Seksual di Dunia Digital
Pati - Edukasi wawasan literasi digital tengah diupayakan pemerintah melalui penyelenggaraan webinar yang dilakukan secara serentak. Salah satunya, webinar yang digelar untuk masyarakat Kabupaten Pati, Jawa Tengah, dengan tema "Melawan Pelecehan Seksual di Media Online", Sabtu (14/8/2012).
Program nasional yang dicanangkan Presiden Joko Widodo itu bertujuan untuk mengakselerasi kecakapan dalam menggunakan dan memanfaatkan teknologi informasi komunikasi. Literasi digital itu mencakup empat pilar: digital culture, digital safety, digital skill, dan digital ethics.
Diskusi virtual hari ini dipandu oleh Kurnia Tri Utami (duta bahasa DIY) bersama empat pemateri: Farah Aini Astuti (founder Yayasan Suadra Warna Indonesia), Imam Sayekti (Kepala MTsN 2 Kabupaten Pekalongan), Ahmad Faridi (Kanwil Kemenag Jateng), dan Muawwin (penulis buku). Selain itu juga hadir Eryansyah Putra (content creator) sebagai key opinion leader.
Muawwin mengawali materi diskusi dengan menganalogikan keberadaan teknologi sebagai pisau bermata dua. Ia bisa memberikan manfaat dan juga berdampak negatif, tergantung bagaimana ia digunakan. Media sosial sebagai salah satu wujud teknologi yang kini banyak digunakan bisa bermanfaat dalam memperluas jejaring, sekaligus memudahkan pelaku kejahatan untuk tujuan pelecehan seksual dan pornografi. Apalagi, bagi remaja, teknologi sudah menjadi candu dan seakan-akan sudah menjadi keseharian. Di sinilah perlunya kecakapan digital dan literasi digital.
"Media sosial membuka celah bagi remaja untuk menjadi korban bullying, pelecehan seksual, dan perilaku menyimpang. Mengutip data KPAI, dari 4.500 responden 22 persen mahasiswa dan 31,2 persen menjadi korban pelecehan seksual, 97 persen remaja pernah menonton konten pornografi, pelaku kejahatan seksual karena media sosial ada 30,5 persen pada rentang usia 13 tahun. Kondisi ini sangat memprihatinkan dan memerlukan perhatian, baik dari lingkungan keluarga maupun pendidikan," jelas Muawwin.
Bentuk-bentuk kejahatan seksual di media sosial pun beragam jenisnya, doxing atau penyebaran konten pribadi mirip orang lain tanpa izin, framing atau jebakan maupun ancaman untuk melakukan hubungan seksual, honey trapping atau menjebak korban untuk mendapatkan keuntungan materi.
"Melawan kejahatan seksual di media sosial dapat diminimalisir dengan memanfaatkan fitur lapor di media sosial. Setiap platform memiliki fitur report and block, ignore and mute. Ada fitur mematikan komentar, dan fitur pelaporan konten yang bisa dieksplorasi dan digunakan ketika menerima pesan berupa kata-kata atau ajakan yang bermuatan seksual," lanjutnya.
Selain itu jangan memberikan respons pada pelaku atau pengirim pesan yang sudah menjurus ke arah kejahatan sosial. Setiap pengguna harus punya kontrol diri agar tidak terjadi kejahatan lebih lanjut yang merugikan. Menyimpan bukti berupa tangkapan layar untuk dilaporkan dan mencari bantuan agar bisa diproses secara lebih lanjut secara hukum.
Ahmad Faridi menambahkan, berkah dari adanya teknologi tidak lantas membuat pengguna melupakan aspek etika dalam berdigital. Pengguna memiliki tanggung jawab moral dalam menggunakan teknologi informasi dan komunikasi.
Tanggung jawab tersebut harus berdasar pada nilai respek atau penghargaan terhadap harkat atau martabat manusia dan hak asasi manusia. Sebab, prinsipnya teknologi hanyalah alat bantu bagi komunikasi manusia, sehingga harus tahu bagaimana memanfaatkannya dan jangan sampai cara kita menggunakan teknologi bisa mempengaruhi nasib kita atau nasib orang lain.
"Jangan terbawa arus, karena kita yang harusnya mengendalikan teknologi dan memanfaatkannya untuk kepentingan kita. Maka, filter atau kontrol diri sangat penting. Sebab apa yang kita lakukan di ruang digital akan meninggalkan jejak digital," ujar Ahmad Faridi kepada hampir 200 peserta diskusi.
Ketika berada di ruang digital penting menjaga penghargaan diri dengan tidak meninggalkan jejak digital negatif, mengekspos hal yang tidak pantas dan data pribadi. Begitu juga menjaga penghargaan orang lain dengan tidak menyebarkan konten negatif, hoaks, foto kekerasan, korban kecelakaan dan lain-lain.
Konten-konten negatif itu diartikan sebagai substansi yang mengarah pada penyebaran kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA, hoaks, ujaran kebencian, perundungan, dan kejahatan seksual.
"Oleh karena itu, untuk membangun masyarakat yang sehat, maka interaksi dan perilaku di dunia nyata dan di dunia digital harus sehat. Sing waras ojo ngalah atau yang sehat tidak boleh mengalah. Artinya, dalam melawan hal yang negatif, sebagai orang yang sehat secara akal dan batin tidak boleh mengalah atau membiarkannya. Karena yang negatif harus ditimpa atau dibanjiri dengan hal positif sebanyak-banyaknya," pungkas Faridi. (*)
Post a Comment