Penanaman Nilai Moderasi Beragama Harus Sesuai Konsep Ummatan Washatan
Tegal – Keputusan Dirjen Pendidikan Islam Nomor 1891 Tahun 2021 menyebutkan, pengertian umum moderasi beragama yakni cara pandang, sikap dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan, dan membangun kemaslahatan umum berlandaskan asas adil, berimbang dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa.
”Jadi, penanaman dan penguatan moderasi beragama merupakan upaya yang dilakukan secara terencana, sistematis dan keberlanjutan untuk mewujudkan moderasi beragama,” ungkap Kepala MTsN 3 Purworejo Fitriana Aenun pada webinar literasi digital yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Jumat (30/7/2021).
Dalam diskusi virtual bertema ”Moderasi dan Penanaman Nilai-Nilai Keagamaan Melalui Online” itu, Fitriana Aenun menyatakan prinsip-prinsip moderasi bergama itu meliputi keberagaman, kebersamaan, kekeluargaan, kemandirian, kesetaraan, kebermanfaatan, kejujuran, keikhlasan, dan kesinambungan.
Selanjutnya, Fitri memberikan contoh tujuh indikator moderasi beragama siswa madrasah. Pertama, visi rahmatal lil alamin: kemaslahatan umum, akhlak karimah, dan kesalehan sosial. Kedua, komitmen kebangsaan: realitas keagamaan, prinsip kemajemukan, empat pilar kebangsaan. Ketiga, adil terhadap sesama: kesetaraan, antikorupsi, ramah lingkungan.
Keempat, persaudaraan: ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathoniyah, ukhuwah basyariah. Kelima, akomodasi budaya lokal: etos kerja warisan leluhur, melestarikan kesenian lokal, melestarikan nilai sastra leluhur. Keenam, santun dan bijak: berperilaku santun, dakwah santun, kepemimpinan bijaksana. Ketujuh, inovatif, kreatif dan mandiri: berpikir terbuka, bernalar kritis, berjiwa kompetitif.
Penanaman dan penguatan karakter moderat siswa melalui online dalam perspektif budaya digital, menurut Fitri, meliputi: digital citizenship, cintai produk dalam negeri, digitalisasi kebudayaan TIK, dan hak-hak digital.
”Adapun penanaman nilai keagamaan bisa melalui contoh atau keteladanan, regulasi, pengajian, ceramah, proses pembelajaran, materi pembelajaran, serta media digital,” jelas Fitri.
Berikutnya, Kepala MAN 2 Kudus Shofi menyatakan, moderasi beragama itu seharusnya sesuai dengan konsep ummatan wasathan dalam surat al-Baqarah ayat 143.
Menurut Shofi, penjelasan Ibnu Katsir, ummatan wasathan adalah masyarakat yang berada di pertengahan dalam arti moderat. Posisi pertengahan menjadikan anggota tidak memihak ke kiri atau kanan yang mengantar manusia berlaku adil. Allah menjadikan umat Islam pada posisi pertengahan agar menjadi saksi atas perbuatan umat lain.
Shofi mengatakan, ada empat atribut dalam moderasi beragama. Masing-masing ialah: komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, serta akomodatif dan inklusif. Keempat atribut tersebut, ada pula yang menyebutnya sebagai indikator moderasi beragama.
Komitmen kebangsaan, menurut Shofi, ialah kesadaran warga negara untuk menerima keterikatan dirinya atas dasar keyakinan terhadap Pancasila sebagai landasan hidup, moral, dan sikap.
”Hal itu mencakup: menghargai dan menjiwai identitas nasional; menghargai dan menindaklanjuti perjuangan para pahlawan; mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan golongan; berpartisipasi aktif dalam upaya mewujudkan integrasi nasional,” jelas Shofi.
Adapun toleransi, lanjut Shofi, adalah sikap untuk memberi ruang dan tidak mengganggu hak orang lain untuk berkeyakinan, mengekspresikan keyakinannya, dan menyampaikan pendapat. Contohnya, menghargai dan mengapresiasi perbedaan agama, ras, suku, budaya, dan golongan serta terbuka dan mengapresiasi kesetaraan gender.
Sikap anti kekerasan, yakni menolak tindakan seseorang atau kelompok tertentu yang menggunakan cara-cara kekerasan dalam mengusung perubahan yang diinginkan. Moderasi beragama juga tidak membenarkan adanya kekerasan baik secara verbal maupun fisik.
Indikator akomodatif, imbuh Shofi, merupakan wujud dari sikap kesediaan untuk menerima, mempertahankan, mengaktualisasikan tradisi, budaya lokal, dan ide-ide baru dalam perilaku keagamaannya, sejauh tidak bertentangan dengan pokok ajaran agama.
”Atribut ini mencakup: komitmen untuk mempertahankan kearifan lokal (local wisdom); komitmen untuk menyempurnakan diri dengan mengadopsi ide-ide baru yang positif; terbuka dan apresiatif terhadap amaliyah keagamaan yang berbeda,” papar Shofi.
Acara webinar yang dipandu oleh moderator entertainer Bobby Aulia itu, juga menampilkan narasumber Rifqi Fairuz (redaktur Islami.co), Saeroni (Head of Studies Center for Family and Social Welfare UNU Yogyakarta), dan Duta Bahasa Provinsi Jateng Rosallana Intan Pitaloka selaku key opinion leader. (*)
Post a Comment