Menjadi Masyarakat Pancasila di Tengah Banjir Informasi dan Budaya Post Truth
Karanganyar – Staf Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta Andre Rahmanto mengatakan, menjadi masyarakat Pancasila di era digital, di tengah banjir informasi dan keriuhan media sosial sebagai salah satu muatan kunci dalam budaya post truth maupun logika dan obsesi dromologi masyarakat, memiliki tantangannya tersendiri.
Banjir informasi, lanjut Andre, karena media massa tidak lagi menjadi satu-satunya sumber informasi akibat kecepatan media sosial dalam memberikan informasi: 400-2.500 berita per hari per media online; 6.000 twit di twitter tiap detik; 293.000 status facebook tiap 60 detik; 2,2 miliar orang di seluruh dunia aktif di facebook; 300 video per menit diunggah ke YouTube.
”Sayangnya, banjir informasi itu juga diikuti budaya komentar dan posting yang tidak disertai data valid, hoaks, berita palsu, dan sesat nalar,” ujar Andre pada webinar literasi digital bertema ”Menjadi Masyarakat Pancasila di Era Digital” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, Rabu (18/8/2021).
Selain Andre Rahmanto, hadir dalam diskusi virtual yang dipandu moderator Dannys Citra itu, narasumber: Aulia Putri Juniarto (fasilitator nasional), Muhammat Taufik Saputra (fasilitator nasional), Disa Ageng Alifven (Ketua Pemuda Pancasila Karanganyar), dan Putra Pariwisata Nusantara 2018 Arya Purnama selaku key opinion leader.
Andre Rahmanto menambahkan, upaya menjadikan masyarakat Pancasila era digital juga mendapat tantangan dari budaya post truth yang di dalamnya terkandung unsur ’i bite’ dimana opini lebih kuat dan menenggelamkan bukti atau fakta. ”Emosi dan perasaan lebih penting ketimbang fakta dan data, pendapatku lebih berharga daripada fakta-fakta”, tegas Kepala Prodi Magister Ilmu Komunikasi Fisip UNS itu.
Tantangan lainnya, lanjut Andre, yakni realitas budaya masyarakat kini yang digerakkan oleh logika dan obsesi akan kecepatan (era dromologi). Dalam era dromologi, karakter serba instan dan ’grusa-grusu’ lebih mengemuka sehingga hoaks menyebar lebih cepat dan lebih luas. Akibatnya, kepraktisan dan keinstanan mengikis budaya lokal.
Menjadi masyarakat Pancasila, menurut Andre, berarti menerapkan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang pada aspek kehidupan sebuah bangsa dengan ciri khasnya, yang membuat berbeda dengan bangsa lain dalam kehidupannya. Prinsip-prinsip nilai moral sebagai pedoman perilaku warga negara ialah kesadaran kolektif, selaras, harmonis.
”Identitas generasi bangsa harus mampu bertahan terhadap gempuran dan pola serangan pintas melalui F-7: food, feul, film, fashion, fantasi, filosofi, dan financial,” sebut aktivis Japelidi itu, mengakhiri paparan.
Narasumber lain dalam webinar ini, Ketua Pemuda Pancasila Karanganyar Disa Ageng Alifven menyatakan, perkembangan teknologi dan informasi pada masa pandemi memaksa masyarakat dunia dan Indonesia mengadaptasi gaya hidup baru yang mengandalkan dukungan teknologi internet. Perubahan ini menghasilkan lonjakan jumlah pengguna digital sekaligus meningkatkan kejahatan dan perilaku yang jauh dari nilai-nilai Pancasila.
”Perputaran uang melalui transaksi daring mencapai Rp 621 triliun, 4.250 laporan kejahatan siber, 1.158 laporan penipuan digital hingga November 2020,” sebut Disa.
Menurut Disa, Pancasila di era digital harus ditanamkan dengan cara membranding Pancasila secara digital. Penanaman nilai Pancasila dengan cara-cara lama atau menjadikannya dogma, akan sulit dipahami oleh generasi milenial.
”Penyampaian nilai-nilai Pancasila berbasis digital dapat dilakukan dengan cara yang up to date dan inovatif. Dengan bahasa yang sederhana maka nilai Pancasila diharapkan akan lebih mudah dipahami dan selanjutnya diimplementasikan pada kehidupan sehari-hari,” ungkap Disa. (*)
Post a Comment