Menjadi Masyarakat Pancasila dengan Kearifan Lokal di Era Digital
Grobogan – Pancasila yang kita kenal sekarang ini digali dari sanubari dan kearifan lokal masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebenarnya sudah lama menancap di hati nurani masyarakat Indonesia, seiring kian beratnya tantangan kebangsaan di era digital seperti saat ini.
Demikian disampaikan Komisioner KPU Kabupaten Grobogan M. Machruz saat didaulat menjadi salah satu narasumber acara webinar literasi digital dengan tema ”Menjadi Masyarakat Pancasila di Era Digital” persembahan Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, Kamis (12/8/2021)
Hadir dalam diskusi virtual yang dipandu moderator profesional public speaker Nindy Gita itu, beberapa narasumber Bambang Kusbandrijo (dosen Untag Surabaya), Zahid Asmara (film maker & art director Sedino Dadi Wayang Festival), M. Thobroni (dosen Universitas Borneo), dan content creator Mahe Wijaya selaku key opinion leader.
Machruz mengatakan, Indonesia adalah negara majemuk, multikulturalis, sekaligus demokratis. Dengan jumlah penduduk lebih dari 270 juta yang tersebar mulai dari ujung pulau Sumatera hingga Papua dan memiliki beragam perbedaan suku, agama, keyakinan, bahasa, adat istiadat, Indonesia menjadi salah satu negara paling majemuk di dunia.
Keberagaman dan kemajemukan itu, lanjut Machruz, telah berhasil dirangkai dan dipersatukan oleh para founding fathers dalam satu kesepakatan bersama yang menjadi dasar kehidupan berbangsa dan bernegara yakni Pancasila dengan nilai-nilai lima silanya.
Nilai-nilai Pancasila itu pertama Ketuhanan Yang Maha Esa yang nilai utamanya adalah cinta kasih, saling menghormati perbedaan kepercayaan di ruang digital. Sila kedua Kemanusiaan yang Adil dan Beradab nilai utamanya adalah kesetaraan, memperlakukan orang lain dengan adil dan manusiawi di ruang digital.
Sila Persatuan Indonesia bermakna harmoni, mengutamakan kepentingan Indonesia di atas kepentingan pribadi atau golongan di ruang digital. Keempat Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawatan Perwakilan, artinya adalah demokrasi. Memberi kesempatan setiap orang untuk bebas berekspresi dan berpendapat di ruang digital.
”Terakhir, sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, nilai utamanya adalah gotong royong. Bersama-sama membangun ruang digital yang aman dan etis bagi setiap pengguna,” jelas Machruz.
Menurut Machruz, pengguna media digital harus mampu memahami dan mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila saat bermedia digital. Rendahnya pemahaman nilai-nilai Pancasila akan berdampak pada ketidakmampuan memahami batasan ekspresi kebebasan, tidak mampu membedakan keterbukaan infomasi publik maupun informasi yang salah.
”Nilai-nilai Pancasila harus tercermin dalam tindakan dan perbuatan di dunia digital seperti memproduksi konten, distribusi, dan partisipatif (kolaboratif),” pungkas Machruz.
Narasumber selanjutnya, dosen Universitas Borneo Kalimantan Utara Muhammad Thobroni mengajak peserta diskusi pagi itu untuk meneguhkan kembali Pancasila bukan sebagai dogma, tapi sebagai nilai aplikatif yang mampu menjadi pemandu arah para pengguna media digital dalam melakukan aktivitas medianya.
Thobroni mengatakan, kenapa kini Pancasila kurang dihayati? Salah satunya karena media sosial yang dianggap telah menggerus nilai-nilai yang terkandung dalam sila Pancasila. Untuk itu, ia mengimbau agar para pengguna media sosial tidak ’sembrono’ menggunakan media digital.
”Telepon selular, laptop dan semua jenis perangkat digital lainnya hendaknya digunakan menjadi sumber berkah, bukan malah sebaliknya menjadi sumber musibah,” tegas Thobroni.
Terkait banyaknya ujaran kebencian dan intoleransi yang banyak beredar di media sosial, Thobroni berharap kepada guru dan orangtua mampu memberikan pemahaman yang benar kepada siswa atau anaknya. Caranya dengan memberi contoh bicara baik, mempraktikkan perbuatan toleransi, meluruskan persepsi keliru, menerangkan risiko menyimpang, dan yang penting juga ajak mereka untuk berpikir kritis.
Selain ancaman informasi hoaks dan ujaran kebencian, media sosial juga masih menyimpan ancaman berupa tindak terorisme. Untuk mengantisipasinya, kita bisa lakukan pengecekan pelajaran di sekolah atau kampus, cek lingkungan rumah dan sekolah dan kampus, mengenal baik guru di sekolah maupun kampus.
”Jangan lupa, awasi tontonan anak, luruskan pemahaman yang keliru, berikan pemahaman dampak terorisme, ajarkan empati, berikan ajaran agama yang tepat, sebarkan indahnya keberagaman, dan terapkan kurikulum antiteror,’ ujar Thobroni, memungkas diskusi. (*)
Post a Comment