Menciptakan Guru Inovatif dan Siswa Kreatif melalui Literasi Digital
Sleman – Hasil survei literasi digital nasional (2020) menunjukkan, indeks literasi digital Indonesia masih berada di angka 3,47 dari skala 1 hingga 4. Hal itu menunjukkan, indeks literasi digital kita masih di bawah tingkat baik.
Indeks literasi digital nasional pada sub-indeks 1 informasi dan literasi digital mendapat angka 3,17, sub-indeks 2 komunikasi dan kolaborasi 3,38, sub-indeks 3 keamanan 3,66, dan sub-indeks 4 kemampuan teknologi sama dengan indeks keamanan yaitu 3,66.
”Hampir semua bidang yang diukur, tak satu pun yang hasilnya baik. Di sinilah pentingnya literasi digital untuk meningkatkan kapasitas guru maupun siswa,” ujar Siska Sasmita pada webinar literasi digital yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin (9/8/2021).
Dalam webinar bertajuk ”Pentingnya Literasi Digital dalam Peningkatan Kapasitas Guru dan Siswa di Era Pandemi Covid-19”, pengajar Universitas Negeri Padang itu menyebut hasil survei literasi digital nasional sekaligus mengkonfirmasi bahwa kompetensi fungsional (akses, seleksi, paham, distribusi, dan produksi) memiliki skor lebih tinggi dibandingkan dengan kompetensi kritis (analisis, verifikasi, evaluasi, partisipasi, dan kolaborasi).
Pelanggaran etika masih umum ditemui dalam pembelajaran daring, kata Siska. Menurutnya, pelanggaran tersebut dilakukan baik oleh pendidik maupun peserta didik. Pelanggaran etika oleh pendidik di antaranya adalah tidak terpenuhinya hak peserta didik karena kekurangtegasan guru, utamanya saat pembelajaran di kelas rendah.
”Kemudian pembebanan tugas secara berlebihan pada siswa, pendidik seringkali tidak memperhatikan waktu saat berkomunikasi dengan peserta didik maupun orangtua/walinya, kelalaian dalam evaluasi pembelajaran peserta didik, mengabaikan disiplin waktu dalam pembelajaran,” jelas Siska.
Adapun dari sisi peserta didik, lanjut Siska, pelanggaran etika berupa penggunaan bahasa gaul saat berkomunikasi dengan guru, tidak memperhatikan waktu saat berkomunikasi, mengkopi sebagian atau seluruh isi dari buku atau karya di internet tanpa menyebutkan sumbernya, mengkopi tugas dari sumber yang sama atau dari siswa lain, mengunduh tulisan dari internet tanpa izin.
”Bahkan ada yang membeli karya dari orang yang menjualnya, mencontek atau bekerja sama saat mengerjakan tugas individu, mendaku ide, gambar atau rancangan orang lain sebagai miliknya, membiarkan karyanya disalin oleh orang lain, mengerjakan tugas siswa lain, hingga spam saat berkomentar atau menanyakan hal tertentu di lini grup,” sebut Siska di depan hampir 1.000 partisipan webinar.
Solusi permasalahan pembelajaran daring dari perspektif etika digital supaya pembelajaran berjalan lancar, guru dapat mengeset tombol ”mute” pada saat-saat tertentu dan mengaktifkannya di saat-saat yang disepakati, disiplin waktu penggunaan media digital untuk menghindari masalah kesehatan mental.
Selanjutnya, agar terhindar dari plagiarisme, imbuh Siska, biasakan mencantumkan sumber kutipan tulisan, gambar, video, dan konten lainnya apabila menggunakan karya orang lain, serta memberikan tanda kepemilikan pada produk atau karya, misalnya menggunakan watermark.
”Ada hal yang perlu diperhatikan saat komunikasi guru-siswa-orangtua, yatu memberitahukan jati diri, menggunakan bahasa yang sopan dan dapat dipahami kedua belah pihak, menggunakan kanal yang telah ditentukan dengan efektif, serta mempehatikan waktu dan durasi,” pungkas Siska.
Narasumber selanjutnya, pengajar departemen sosiologi UGM Yoyakarta Arie Sujito memulai paparan terkait tema diskusi kali ini dengan tiga pertanyaan: Bagaimana pendidikan merespons perubahan sosial dan dinamika teknologi informasi? Apa yang perlu dimanfaatkan dengan digitalisasi pendidikan agar lebih bermakna? Apa tantangan yang dihadapi guru dan siswa dalam meningkatkan kapasitas?
Arie Sujito menyatakan, bencana pandemi covid memaksa manusia untuk berpikir kreatif, cara alternatif. Meski risiko atas pendemi covid telah menyasar beragam sektor, namun implikasi serius tetap ada pada dunia pendidikan. Dunia pendidikan, dengan segala masalahnya harus diatasi, tantangannya perlu dihadapi, karenanya perlu rumusan strategi cerdas dan tepat.
Arie menyatakan, meskipun mengalami dampak serius, namun pendidikan merupakan sektor yang cepat adaptif terhadap perubahan, terutama teknologi dan informasi. Pembelajaran baru yang menggunakan instrumen atau aplikasi digitalisasi, menjadi realitas yang massif. Ada banyak inisiatif tumbuh, informasi menjadi bahan dasar pembejalaran berbasis digital.
Menurut Arie, kunci sukses pembelajaran online di masa pandemi Covid membutuhkan guru yang inovatif untuk melahirkan siswa yang kreatif. Guru inovatif akan belajar mencari bahan, mengolah dan menyajikan dalam pembelajaran.
”Semuanya bisa dimulai dari hal-hal kecil, syaratnya memiliki pesan penting dan bermakna. Lalu, mencari cara agar siswa atau peserta didik tertarik, dan menyajikan bahan berat menjadi menarik dan diminati,” jelas Arie Sujito.
Arie menambahkan, untuk melahirkan siswa kreatif dan mandiri, caranya dengan memanfaatkan teknologi untuk mendukung pembelajaran diri di sekolah maupun di rumah. Selain itu, mulai berkreasi dari hal-hal kecil yang punya nilai positif belajar maupun mau mencari pengalaman dalam mendalami minat melalui teknologi.
Diskusi virtual yang dipandu moderator Rara Tanjung itu juga menghadirkan narasumber Agus Supriyo (Co-Founder jelajah.live), Adhi Wibowo (praktisi pendidikan), serta presenter TV dan Duta Wisata DIY Venabella Arin selaku key opinion leader. (*)
Post a Comment