Menanamkan Nilai Inklusivitas dalam Pendidikan dan Bermedia Digital
Kabupaten Semarang – Mudahnya timbul perpecahan dan perundungan membuat pemerintah Indonesia harus menguatkan pendidikan inklusif. Hal itu dibahas dalam webinar literasi digital yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk masyarakat Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Kamis (26/8/2021). Kegiatan ini merupakan bagian dari gerakan nasional literasi digital yang dicanangkan Presiden Joko Widodo untuk meningkatkan kecakapan digital masyarakat dalam mengarungi transformasi digital.
Safiera Aljufry menjadi pemandu acara dengan menghadirkan empat narasumber: Septa Dinata (researcher Paramadina Public Policy), Farah Aini Astuti (founder Yayasan Svadara Warna Indonesia), Muawanatul Badriyah (Kepala MTsN 5 Sragen), dan Mohamad Solichin (Kasi Pendidikan Madrasah Kemenag Kabupaten Semarang). Juga hadir entertainer Vania Thalita sebagai key opinion leader. Masing-masing narasumber menyampaikan materi diskusi dari sudut pandang empat pilar literasi digital: digital culture, digital skills, digital ethics, dan digital safety.
Dalam paparannya, Muawanatul Badriyah menyampaikan, masyarakat Indonesia pada dasarnya terkonfigurasi dengan ciri khas yang terdiri dari keberagaman budaya, etnis, agama dan lainnya. Sehingga, membuat masyarakatnya sangat majemuk dan memiliki multukultural yang menyatukan segala perbedaan. Untuk menjaga hal tersebut, dibutuhkan tatanan masyarakat yang inklusif.
Masyarakat inklusif adalah masyarakat yang terbuka dan universal serta ramah bagi semua. Setiap anggotanya saling mengakui keberadaan, menghargai dan mengikutsertakan perbedaan. Terbentuknya masyarakat inklusi menciptakan ruang yang aman bagi anak-anak, yakni aman dari bentuk kejahatan yang salah satunya adalah perundungan.
”Perundungan adalah tindakan menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikis, dalam bentuk verbal atau ucapan. Sedangkan perundungan sosial adalah dengan penyebaran rumor dan mengajak orang untuk menjauhi atau memusuhi, lewat perundungan secara fisik maupun perundungan siber,” terang Muawanatul.
Kaitannya dengan perundungan di dunia digital, menurut Muawanatul, setiap individu perlu kecakapan literasi digital yang di dalamnya termasuk memahami kecakapan beretika di ruang digital. Di ruang digital yang sifatnya global, juga terdapat beragam perbedaan. Sehingga, dalam berinteraksi dan berkomunikasi mampu menimbulkan rasa aman dan nyaman kepada sesama pengguna teknologi dengan kunci utama mengakui dan menghargai segala perbedaan,” lanjutnya.
Etika komunikasi digital yang perlu diterapkan adalah mengingat bahwa apa-apa saja yang kita tulis dan kita unggah di ruang digital mewakili atau merefleksikan diri kita sendiri. Juga, mengingat bahwa orang yang berinteraksi di ruang digital adalah sesama manusia yang memiliki hati dan perasaan jika tersinggung.
Karena itu, lanjut Muawanatul, di ruang digital kita mesti mampu mengendalikan emosi dengan tidak spontan mengunggah atau berkomentar, menggunakan tulisan dan bahasa yang jelas agar tidak menimbulkan multitafsir. ”Kita juga mesti menghargai privasi orang lain, dan tidak menyentuh topik yang sensitif. Sadar akan posisi kita saat membuat postingan dan berkomentar, serta tidak memancing perselisihan,” sebut Muawanatul.
Berikutnya, dari perspektif agama, Mohamad Solichin menambahkan bahwa nilai inklusivitas dalam Islam sudah diajarkan melalui surat Al-Hujurat ayat 13. Dalam Firman Allah tersebut dijelaskan, manusia memang diciptakan berbeda, yang artinya kita semua memiliki nilai kesetaraan yang sama serta hak dan kewajiban yang seimbang.
Juga dalam surat Annur ayat 61, yang menjelaskan secara eksplisit bahwa kesetaraan sosial antara penyandang disabilitas dan bukan penyandang disabilitas harus diperlakukan secara sama dan diterima secara tulus tanpa diskriminasi. Dan menyambung pada literasi digital, maka pada prinsipnya harus digunakan semua masyarakat sesuai dengan nilai Pancasila.
“Budaya digital yang bisa kita ambil pelajaran dari kehidupan nyata kita adalah menjunjung tinggi budaya toleransi, menghargai antar kelompok maupun individu atas adanya perbedaan. Maka, inklusif di sini diartikan sebagai cara berpikir dan bertindak yang membuat tiap orang merasakan penerimaan dan penghargaan,” jelas Solichin.
Sedangkan dalam kaitannya pendidikan inklusif, maka kesempatan mendapatkan pendidikan itu idealnya bisa didapatkan dan diberikan kepada siapa saja. Memungkinkan anak-anak penyandang disabilitas atau yang bukan bisa mengikuti kelas yang sama. Yakni dengan mendapatkan dukungan tambahan yang sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini juga berlaku ketika dalam konteks kehidupan sosial, mendapatkan kesehatan, bahkan dalam akses transportasi sekalipun.
“Menanamkan inklusi harus diawali dari sekolah untuk menerapkan pendidikan yang inklusif dan hasilnya dapat membentuk masyarakat yang inklusif, sehingga tidak ada perundungan karena perbedaan. Madrasah berperan membentuk nilai persahabatan, pemberdayaan siswa dan berprestasi, membangun komunikasi efektif, dan membangun budaya inklusi,” lanjutnya.
Sedangkan untuk mencegah anak agar terhindar dari perundungan, guru dan orangtua dapat mengajarkan cinta kasih terhadap sesama, membuat kedekatan emosional, membangun rasa percaya diri pada anak, memupuk keberanian dan ketegasan, mengembangkan kemampuan sosialisasi anak, menanamkan nilai-nilai keagamaan, serta menjadi panutan bagi anak-anak. Itu sebabnya, untuk memulainya berawal dari diri kita masing-masing. (*)
Post a Comment