Melawan Ujaran Kebencian, Konten SARA dan Hoaks dengan Sikap Tanggung Jawab Bermedia
Cilacap - Berlangsung semarak dengan 500-an partisipan, webinar literasi digital yang mengusung topik "Melawan Ujaran Kebencian dalam Dunia Maya" sukses digelar oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk masyarakat Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, Selasa (10/8/2021).
Webinar itu sendiri merupakan bagian dari Program Literasi Digital Nasional: Indonesia Makin Cakap Digital, yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo, pada 20 Mei 2021 lalu. Lewat program literasi digital ini pemerintah berupaya mengakselerasi kecakapan masyarakat dalam menggunakan dan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk menghadapi era transformasi digital.
Kegiatan yang dipandu oleh presenter Yade Hanifa ini mengajak empat narasumber untuk berbagi ilmu: Agus Sulistyo (pemerhati literasi), Agung Mumpuni (writer), Imam Tobroni (Kepala Kantor Kemenag Cilacap), dan Shofi (Kepala MAN 2 Kudus). Selain itu ikut dihadirkan seniman Ones sebagai key opinion leader. Masing-masing narasumber menyampaikan materi dari sudut pandang empat pilar utama literasi digital, yakni Budaya Bermedia Digital (Digital Culture), Aman Bermedia (Digital Safety), Etis Bermedia Digital (Digital Ethics), dan Cakap Bermedia Digital (Digital Skills).
Agus Sulistyo melalui paparannya menjelaskan, ruang digital identik dengan SARA, hoaks, dan hate speech atau ujaran kebencian. Pada dasarnya SARA dan ujaran kebencian itu saling berkelindan tapi muaranya adalah hoaks, yang kesemuanya memicu emosi.
Hoaks digunakan untuk memutar balikkan fakta, sehingga saking yakinnya seseorang dengan informasi hoaks ia tidak bisa lagi membedakan mana kebenaran dan mana kepalsuan. Untuk itu, Agus menilai saring sebelum sharing merupakan langkah bijak melawan hoaks, SARA, dan hate speech.
Ia menyebutkan, hoaks, SARA, dan ujaran kebencian banyak ditemukan di platform media sosial, dan kebanyakan hoaks digunakan untuk kepentingan politik. Untuk menyikapi hal tersebut perlu kecakapan literasi digital, karena jika tidak cakap kita akan tergulung dan terbawa oleh informasi tersebut.
"Mirisnya, banyak di antara kita justru menikmati hoaks. Alasannya bermacam-macam. Ada yang karena pembawa informasi itu adalah panutan atau orang yang dipercaya, sehingga apa pun itu merasa baik untuk disebarkan. Dari sini, para tokoh publik dan masyarakat penting untuk melakukan literasi, bagaimana dalam menerima atau menyampaikan informasi itu perlu seleksi, konfirmasi, atau ditanyakan dulu kebenarannya," jelas Agus.
Selain itu, hoaks juga disebarkan karena seseorang merasa informasi yang disampaikan itu benar, dan tidak tahu sumber kebenarannya. Ada juga ujaran kebencian yang sengaja dilakukan dengan membagikan potongan informasi yang tidak lengkap, sehingga menimbulkan kegaduhan. Ada baiknya melakukan cek fakta untuk mengetahui kebenaran informasi.
"Berita hoaks biasanya disampaikan dengan kata-kata yang persuasif dan memaksa seperti 'sebarkan, viralkan'. Juga banyak menggunakan huruf kapital, merujuk kejadian dengan spesifik waktu yang kurang jelas seperti 'kemarin, dua hari yang lalu', dan isi informasi lebih pada opini bukan fakta. Menggunakan kalimat provokatif, bahkan menjual nama sumber atau stasiun tv tertentu sebagai sumber terpercaya untuk mengelabui," rinci Agus.
Dampak hoaks, SARA, dan ujaran kebencian mengancam terbelahnya masyarakat dalam kubu-kubu tertentu, mengurangi nilai demokrasi, merusak rasionalitas, menciptakan disintegrasi dan intoleransi.
"Cara menghentikan ujaran kebencian dapat dilakukan dengan mengembangkan budaya toleransi sebagai tindakan prevensi dan melalui pendekatan represif, yakni dengan penegakan hukum. Namun langkah lain yang juga penting adalah memahami kebebasan berbicara atau freedom of speech dengan ujaran kebencian atau hate speech," imbuh Agus Sulistyo.
Kebebasan berbicara atau berekspresi di ruang digital memang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 Pasal 14 dan 15, Pasal 45 ayat 2 jo Pasal 28 ayat 2 UU ITE, Pasal 45 ayat 3 jo Pasal 27 ayat 3 UU ITE dan Pasal 310 KUHP serta Pasal 311 ayat 1 KUHP.
"Media sosial memiliki peran penting dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Penyalahgunaan media sosial dapat mengubah prinsip-prinsip demokrasi," kata Agus.
Memerangi hoaks, lanjutnya, menuntut keterlibatan semua masyarakat dan berkolaborasi membangun kesadaran bersama dengan memanfaatkan media sosial secara bertanggung jawab dan diisi dengan konten positif.
Narasumber lain, Agung Mumpuni, menyebut tentang keamanan dan kenyamanan dalam berinternet dengan mengatur privasi akun media sosial, hanya mengikuti akun-akun yang memiliki nilai positif dan tidak mengizinkan akun anonim mengikuti akun kita. Juga mengingatkan, apa pun yang kita unggah di ruang digital juga dapat dibagikan oleh orang lain.
"Faktanya, apa yang kita posting tidak pernah benar-benar pribadi dan selalu dapat dibagikan. Maka, hindarilah memposting hal yang sifatnya pribadi seperti alamat rumah, kartu finansial, dan tidak over-sharing di media sosial. Bagikanlah hal-hal yang penting," jelasnya.
Berinternetlah secara cerdas agar terhindar dari hal negatif dunia maya dengan tidak membagikan informasi personal kepada orang tak dikenal, tidak menemui seseorang dari dunia digital yang tidak dikenal, tidak menerima atau mengunduh file tak dikenal karena dapat menyebabkan permasalahan lain. Selalu mengecek informasi, pastikan kebenarannya sebelum melakukan aksi selanjutnya. Bercerita kepada orang terdekat yang dipercaya ketika mengalami sesuatu yang tidak menyenangkan.
Narasumber berikut, Tobroni, ikut memberikan masukan bahwa melawan ujaran kebencian dapat dilakukan dengan menanamkan filter budaya dalam bermedia sosial, yaitu melalui nilai Pancasila. Menyadari bahwa kita sebagai masyarakat Indonesia adalah bagian dari negara yang majemuk, multikultural dan demokratis.
"Nilai Pancasila menjadi dasar dari keberagaman berbangsa dan bernegara. Menanamkan prinsip dasar berketuhanan, berperikemanusiaan yang adil dan beradab, menjaga persatuan, mengedepankan demokrasi, dan berkeadilan sosial dapat mendorong semangat transformasi di era digital untuk berperadaban tinggi sekaligus menjadi filter dari adanya konten ujaran kebencian," jelas Tobroni. (*)
Post a Comment