Kultur Media Digital Saat Ini Bagai Sajian Soto Pisah
Klaten – Budaya media digital menciptakan berbagai perilaku manusia, salah satunya adalah fenomena ujaran kebencian di media sosial yang tidak bisa terhindarkan. Topik “Melawan Ujaran Kebencian di Dunia Maya” dibahas dalam webinar literasi digital yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika RI untuk masyarakat Kabupaten Klaten, Jawa Tangah, Jumat (27/8/2021). Kegiatan tersebut merupakan salah satu bagian dari gerakan nasional literasi digital yang dicanangkan Presiden Joko Widodo dalam mendukung percepatan transformasi digital.
Kegiatan pagi ini dipandu oleh Fernand Tampubolon (entertainer) dan diisi oleh empat narasumber: Iqbal Aji Daryono (penulis), Ahmad Sururi (dosen Universitas Serang Raya), Noviana Dewi (dosen STIKES Nasional Surakarta), dan Gregorius Kriswanta (pastor). Selain itu juga hadir Shafinaz Nachiar (news anchor) sebagai key opinion leader. Masing-masing narasumber menyampaikan materi diskusi dengan perspektif literasi digital yang meliputi digital culture, digital ethics, digital skills, dan dital safety.
Iqbal Aji Daryono yang merupakan penulis dan kolumnis di portal berita online menjelaskan, kultur media digital saat ini bagaikan soto pisah. Informasi yang disajikan media kepada masyarakat tidak lagi disampaikan secara utuh sebagaimana media konvensional seperti koran. Media saat ini tidak bertarung pada kelengkapan berita yang memenuhi unsur 5W 1H, tetapi siapa yang paling cepat menyajikan informasi meski dengan informasi yang sedikit. Hal ini terjadi karena industri media dituntut kecepatannya.
“Fenomena tersebut ada hubungannya dengan budaya klik, yang tidak jarang orang hanya membaca judul beritanya saja lalu spontan menyebarkan informasi lagi. Isi informasi sepotong dan judul yang membuat orang meng-klik itu secara tidak sadar menjadi alat yang menyumbang angka kunjungan dan statistik kunjungan portal media berita online yang berujung pada iklan,” jelas Iqbal Aji Daryono.
Utamanya di masa pemilu, budaya klik dan kultur media online yang cepat tak sedikit membuat orang mengeluarkan komentar dengan ujaran kebencian dan penyebaran hoaks. Jika diperhatikan lagi isu politik, agama, dan kesehatan paling banyak dipakai untuk memancing emosi. Pancingan emosi inilah yang membuat media sosial akhirnya gaduh, yang tidak hanya meng-klik berita tersebut tetapi juga disebarkan.
“Hal-hal tersebut membentuk cara berpikir kita. Minimal kalau paham dengan kultur budaya digital dan paham cara kerja media semacam itu, kita sadar bahwa sebelum klik untuk menyebarkan berita pahami isinya dulu. Jangan sampai kita dimanfaatkan oleh industri, karena ketika suatu produk itu disajikan secara gratis artinya kita yang menjadi dagangan mereka. Yaitu melalui klik dan aksi untuk menyebarluaskannya,” imbuhnya.
Di era transformasi digital, manusia memang menciptakan alat atau teknologi tapi tanpa disadari teknologi itu yang “menciptakan” manusia. Maka yang perlu digarisbawahi adalah bagaimana kita, manusia, menggunakan alat itu untuk memudahkan keperluan kita dan bukan kita yang diekspoitasi.
Ahmad Sururi menambahkan, ujaran kebencian yang terjadi biasanya didasari faktor politik, ekonomi, psikologis, ketidaksengajaan, serta disinformasi dan malinformasi. Biasanya disampaikan dalam tindakan berupa menghina, merendahkan kelompok minoritas baik berdasarkan gender, ras, etnis, kecacatan, keagamaan, orientasi seksual dan lainnya.
Ujaran kebencian sering ditemukan di media sosial dengan dalih kebebasan berekspresi. Padahal kebebasan berekpresi itu masuk di dalam Undang-Undang, di mana jika melanggar hak berekspresi dapat dikenai sanksi, maka dari itu kebebasan berekspresi selalu beriringan dengan tanggung jawab. Boleh berpendapat, menyangkal perbedaan, namun harus disertai dengan data yang valid.
“Untuk menghindari atau melawan ujaran kebencian di dunia digital kita perlu kecakapan digital dalam mengakses, menyeleksi, memahami dan mengevaluasi tiap-tiap informasi yang kita terima. Kemampuan dasarnya adalah dengan menggunakan handphone secara bijak,” jelas Ahmad Sururi kepada sembilan puluhan peserta diskusi.
Ada beberapa tahapan kecakapan digital yang dilakukan dalam menggunakan teknologi informasi dan komunikasi, khususnya dalam hal menyikapi dan mengevaluasi informasi. Yaitu pastikan selalu crosscheck narasi berita yang disampaikan apakah mengandung ujaran kebencian, hoaks, dan bisa dipertanggungjawabkan validitasnya.
Pastikan sumber beritanya valid dengan mengecek URL. Cek penggunaan gambar ilustrasi menggunakan Google Image. Lalu cek konsistensi judul dan isi beritanya serta referensi informasi yang digunakan, apakah berupa opini atau pendapat ahli.
“Setelah evaluasi, langkah melawan ujaran kebencian adalah ikut berpartisipasi dengan tidak ikut menyebarkan informasi jika itu mengandung hoaks dan ujaran kebencian. Stop di diri kita saja. Dan lakukan interaksi positif seperti menjalin pertemanan di media sosial dengan akun yang memiliki identitas jelas. Juga dengan membuat konten-konten yang memberikan pengaruh positif,” pungkas Sururi. (*)
Post a Comment