Kolaborasi Guru Generasi Baby Boomers dan Milenial, Solusi PJJ di Era Pandemi
WONOGIRI: Tak kunjung redup, pandemi Covid-19 makin nyata berdampak luas. Dunia pendidikan di sekolah kini dipaksa berubah. Salah satu dampak pandemi Covid-19, yang kita alami 17 bulan terakhir, memaksa dunia pendidikan yang semula berlangsung offline berganti online. Jika sebelumnya murid dan guru bertemu tatap muka di kelas nyata, kini ruang kelas pindah menjadi kelas virtual atau dikenal dengan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Nah, karena dipaksa berubah, apakah konsep PJJ di masa pandemi sudah cukup memuaskan penerapannya di lapangan?
Mengutip riset Saiful Mujani Research Center (SMRC) pada Agustus 2020 terhadap 2.201 responden siswa secara acak se-Indonesia yang berusia 17 tahun ke atas, ternyata didapat jawaban 92% masih mengalami masalah dengan PJJ. Hanya 8% yang mengaku sedikit masalah dan 0% yang mengaku tidak ada masalah. Lantas, apa sih yang jadi masalah?
Sebanyak 38% mengaku kurang fokus dan merasa kurang bimbingan dari guru. Lalu, 35% gagal berinteraksi karena akses internet yang masih buruk, 7% tak bisa akses belajar karena tak punya gawai, 4% tidak bisa menerapkan aplikasi pendidikan yang ditugaskan guru, dan 3% tidak dapat perhatian dan bimbingan orangtua.
"Complicated memang. Intinya, berfokus pada minimnya akses jaringan dan SDM guru yang kompeten serta peran orangtua yang masih gagap digital dan belum bisa fokus karena anak dianggap menambah beban kerjaan orangtua di rumah. Ini butuh solusi yang perlu diatasi secara kolaboratif oleh tiga pihak tersebut," papar Dr. Murdianto, dosen IAI Sunan Giri (INSURI) Ponorogo yang juga founder Yayasan Nurul Afkar, mengutip riset SMRC memetakan tantangan dan problem praktik PJJ di masa pandemi saat ini.
Murdianto memaparkan hasil temuan tersebut dalam webinar bertajuk “Tantangan Pembelajaran Jarak Jauh di Masa Pandemi Covid 19”. Webinar literasi digital ini digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dalam Program Nasional Indonesia Makin Cakap Digital untuk masyarakat Kabupaten Wonogiri, 28 Juni lalu.
"Pemerintah sudah sangat sadar problem dan tantangan minimnya jaringan untuk akses internet itu. Dan, sampai 2022, Presiden Jokowi menargetkan tambahan pembangunan 4.200 BTS ke seluruh wilayah Indonesia, khususnya wilayah terpencil dan terluar," ungkap Subekhan Nurhadi, pembicara lain yang juga Head Master Vocation High School.
Namun, selain problem jaringan dan infrastruktur teknologi informasi, khususnya di pelosok, problem dan tantangan yang mendesak dituntaskan adalah belum maksimalnya sosialisasi PJJ dengan penerapan kurikulum darurat, agar para guru segera menyiapkan materi yang tepat dan diwujudkan dalam konten-konten materi digital yang mudah diakses dan dipahami peserta didik di kelas-kelas zoom.
Tapi untuk itu, lanjut Subekhan, muncul masalah baru, yakni minimnya SDM guru yang berkompeten untuk membuat konten pelajaran digital.
“Kompetensi guru yang mempunyai kecakapan digital dan bisa membuat materi digital masih perlu digenjot lebih banyak dengan kegiatan seperti webinar literasi digital ini. Karena, ini juga menyangkut ketersediaan SDM yang sesuai era digital saat ini. Buat guru yang berusia milenial mungkin tidak masalah, bisa dikebut. Tapi guru yang dari angkatan baby boomers atau guru usia sepuh dan mau pensiun, ini jadi masalah karena umumnya masih gaptek," ungkap Subekhan.
Murdianto dan Subekhan berbagi pengalaman dipandu oleh moderator Dimas Satria dan ditemani pembicara lainnya: Nuralita Armelia (fasilitator dari Kaizen Room), Ahmad Wahyu Hidayat (dosen UNU Yogyakarta) serta blogger dan digital parenting Nia Kurniawan sebagai key opinion leader.
Murdianto menambahkan, memang butuh solusi komphrehensif untuk menuntaskan gap generasi SDM guru. “Mau tak mau guru-guru generasi milenial mesti mau bergerak dan berbagi ilmu kecakapan digitalnya. Ajari kaum guru generasi baby boomer yang sepuh, pelan tapi pasti, dengan telaten untuk berkolaborasi. Yang sepuh menyumbang materi pelajaran yang matang dan yang muda menyuport kecakapan digital," ujar Murdianto, yang optimistis bakalketemu formulanya.
Dengan begitu, lanjutnya, akan muncul konten-konten kolaboratif yang pas dan mudah dicerna secara digital di kelas-kelas virtual. "Jadi, beda generasi bisa diramu dengan bantuan teknologi digital. Kuncinya saling sinergi dan kolaborasi," kata Murdianto, memungkas diskusi. (*)
Post a Comment