Kebebasan Berekspresi Bukan Berarti Bebas Mencaci dan Mengumpat
BATANG: Direktur penerbit buku Mojok sekaligus social media specialist Aditia Purnomo menyoroti fenomena kebebasan berekspresi di ruang digital yang seringkali masih disalahartikan dengan bersikap seenaknya pada pengguna lain.
”Kebebasan berekspresi bukan berarti kebebasan untuk mengumpat, mencaci maki orang lain, khususnya yang berbeda pendapat dan pemikiran,” kata Aditia, saat menjadi pembicara dalam webinar literasi digital bertema ”Berbahasa yang Benar dan Beretika di Ruang Digital” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Rabu (18/8/2021).
Bukan hanya sekali kasus komentar negatif di media sosial diperkarakan hingga meja hijau akibat gagal pahamnya kebebasan berekspresi ini di kalangan warganet. Ketika muncul postingan yang menyangkut hal tak lazim, berbeda atau belum familiar, memicu pengguna dengan mudah berkomentar buruk – tanpa berpikir dua kali – hingga komentar tersebut bisa menyakiti hingga menimbulkan perpecahan.
Dari mulai komentar berunsur pelecehan fisik atau body shaming, komentar hoaks atau kabar bohong, komentar asusila, komentar ancaman sampai berunsur SARA yang menyinggung identitas primordial seseorang.
”Seringkali kita masih menemui komentar 'Wah gendut banget', padahal satu sisi dampaknya bisa panjang. Orang yang dikatai itu bisa down, depresi, bahkan bunuh diri. Namun hal-hal seperti itu seringkali luput dari perhatian," tegas Aditia.
Aditia juga menyoroti bagaimana pengguna digital begitu gampang dan gemar menyalahkan lainnya tanpa cek dan verifikasi informasi yang diterima. ”Silakan saja mengumbar komentar di ruang media sosial, asal jangan sampai komentar itu menghakimi. Komentar bijaksana itu bagian penting beretika di ruang digital," jelasnya.
Aditia memaparkan, beretika di ruang digital menjadi prasyarat terbentuknya ruang digital sebagai ruang publik di dunia maya yang sehat. Di mana hak-hak tiap penggunanya dilindungi, dihargai dan dihormati.
"Ketika ada satu komentar buruk atas sesuatu hal, jangan latah ikut-ikutan keburukan itu,” tutur Aditia. Berbagai kasus perundungan atau cyber bullying yang kerap terjadi adalah ketika satu komentar buruk memicu dan diikuti komentar buruk lainnya, sehingga perundungan itu tak kunjung henti di satu pengguna.
”Manfaatkan media sosial untuk kebaikan saja dengan sifat kebebasan berekspresinya secara bertanggung jawab. Hilangkan sisi mudaratnya,” ajak Aditia. Manfaat yang ia maksud, antara lain, media sosial untuk memudahkan hubungan antarmanusia, berbagi informasi secara cepat, memperluas wawasan, dan alat bisnis.
"Mudarat dari media sosial yang mesti kita hindari antara lain kecanduan, saluran pelecehan dan perundungan, kebocoran data pribadi, juga untuk penipuan," kata Aditia.
Sementara itu, narasumber lain dalam webinar kali ini, Komisaris PT Visitama17 Jakarta Bambang Barata Aji mengatakan, media sosial turut menyajikan fakta lain di balik perilaku warganet Indonesia yang notabene selama ini dikenal dengan budaya ketimurannya yang terkenal sopan dan santun.
"Bagaimana bisa terjadi, kita yang lekat dengan budaya ketimuran namun bisa mendapat gelar warganet paling tak sopan se-Asia Tenggara berdasarkan survei Microsoft tahun 2020?" kata Aji Barata.
Aji mengungkap, maraknya komentar negatif di ruang media sosial bisa terjadi karena kemajuan teknologi digital belum diimbangi dengan literasi digital yang memadai bagi sebagian masyarakat. Ia melihat, ada semacam kegagapan warganet dalam ruang interaksi digital, sehingga melupakan norma dan etika yang berlaku.
"Namun sekarang, segala komentar negatif itu sudah diantisipasi melalui UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) baik yang pertama maupun perubahannya, sehingga pelaku bisa dibawa ke ranah hukum. Pengguna tidak bisa seenaknya berkomentar negatif atau ia akan terjerat hukum,” pungkas Aji Barata, yang juga budayawan Banyumas itu.
Webinar yang dimoderatori Zacky Ahmad itu juga menghadirkan dua narasumber lain, yakni peneliti pada Paramadina Public Policy Septa Dinata dan Kepala Kantor Kemenag Batang H.M. Aqsho, serta Riska Yuvista yang bertindak selaku key opinion leader. (*)
Post a Comment