Jangan Senang Santap Informasi ala Soto Pisah
Magelang : Prestasi ini mesti disyukuri atau malah dihindari dan diperbaiki segera? Merujuk data tahun 2020, populasi pengguna internet di Indonesia boleh dibilang juara tiga atau malah juara dua sedunia kalau dibandingkan populasi penduduknya setelah Amerika Serikat dan India.
Populasi warganet Indonesia 170 juta dari 274 juta penduduk. Artinya separo lebih. Kalau India 320 juta dari 1,2 miliar, masih dibilang cuma sekitar seperempat penduduk. Jadi, Indonesia malah nomor dua. Kita populer sebagai warganet yang cerewet dan galak di dunia. Tapi di prestasi lain, dalam hal literasi, membaca buku, kita rangking 61 sedunia.
"Apa enggak malu? Maaf ya, di medsos cerewetnya juara dua, kok otaknya rangking enam satu. Modal info dan wawasan ini yang mestinya dibalik dan diperbaiki oleh seluruh warganet agar citra tak bermutu soal cerewetnya warganet tidak terus bikin malu," papar Iqbal Aji Daryono, kolumnis dan pegiat literasi digital saat membuka bahasan webinar literasi digital, yang merupakan bagian dari Program Indonesia Makin Cakap Digital yang digelar oleh Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Magelang, 25 Juni lalu.
Apa penyebabnya? Menurut Iqbal, sebelum jauh membahas minusnya budaya literasi kita yang memprihatinkan, ada kebiasaan lain yang juga perlu direnovasi segera. Dalam menyerap dan mencari informasi di medsos, menurut Iqbal, sebagian besar kita masih suka seperti orang makan soto pisah. Baru nyicip babat atau suwir ayam atau cuma nyeruput kuahnya sudah mengklaim makan soto. Dia bilang gurih, lalu disebarluaskan.
"Padahal sotonya belum komplit, semangkuk dengan nasi, sayur, sambal plus kecap. Informasinya belum komplit dan akurat, sudah di-share. Jangan suka santap informasi ala soto pisah. Mbok dilengkapi dulu soto komplitnya. Lengkapi informasi yang akurat, baru disebar," jelas Iqbal, mengurai materi dalam webinar bertajuk “Saling Menghargai Netizen dari Barbagai Latar Belakang Budaya di Dunia Digital”, yang digelar daring dengan 200-an peserta lintas usia dan profesi itu.
Setelah budaya menyerap dan menyaring informasi di dunia maya lewat beragam platform media sosial bisa diperbaiki, lanjut Iqbal, barulah pesan-pesan toleransi, saling menghormati dan menghargai antar warganet yang berbeda agama, suku dan ras di sini maupun di dunia, bisa ditata dengan lebih baik.
"Begitu juga fenomena tempo hari, saat Pilkada DKI Jakarta dan saat Pilpres 2019, mestinya situasi bisa lebih mudah dikelola, tidak harus berkepanjangan. Jujur, sampai sekarang fenomena cebong versus kampret secara ideologis di dunia nyata dan maya belum sembuh betul. Masih suka muncul letupan celoteh digital yang memicu ketegangan tak sembuh-sembuh secara sosial," ungkap Iqbal prihatin.
Tak tampil sendiri, dipandu moderator presenter Nabilla Nadjib, Iqbal Aji Daryono menjadi pemateri dalam webinar bersama Dr. M. Nadjib Azca (dosen Sosiologi Fisipol UGM), M Mustafied (peneliti LPPM UNU Yogyakarta), Novitasari (dosen Universitas Tidar Magelang) dan Popie Sovia, artis yang tampil sebagai key opinion leader.
Dalam amatan Najib Azca, untuk bisa merawat dan menjaga sikap toleran dan saling menghargai di dunia digital, saat ini kita menghadapi banyak tantangan yang mesti dijaga bersama oleh semua warganet.
“Tantangan itu karena kita sekarang memasuki era media baru. Yang jadi tantangan sudah berubah-berubah. Kalau dulu informasi itu serba kekurangan, kini berubah keberlimpahan informasi. Ini membuat kita ketemu tantangan berikutnya, berubah dari semula menggali dan mencari informasi menjadi menyaring informasi. Langkah ini penting, karena ke depan kita mesti membuang banyak fake news, berita bohong dan bernilai sampah, guna menemukan berita yang berdasar fakta untuk menemukan kebenaran," ujarnya.
Dengan begitu, lanjut Najib, "Kita bisa membuang jauh sikap saling tebar kebencian untuk merangkul sesama warga bangsa, baik di dunia maya maupun dampak sosialnya di dunia nyata dengan penuh saling pengertian," ujar mantan wartawan Tabloid Detik dan ADIL itu, mewanti-wanti. (*)
Post a Comment