Jangan Abaikan Perundungan Digital Anak, Dampaknya Hingga Dewasa
PURBALINGGA: Salah satu problem penting ketika bicara etika dalam pergaulan sosial di dunia digital adalah maraknya perundungan (bullying) di ranah digital yang dilakukan anak pada temannya. Data KPAI yang dicatat dari 2016 s.d. 2018 menyebutkan, laporan kasus cyberbullying pada anak-anak cukup memprihatinkan. Selama tiga tahun itu, 2016 s.d. 2018, dilaporkan tindakan cyberbullying mengalami peningkatan dari 34 kasus pada 2016, 55 kasus 2017, lalu melompat menjadi 109 pada 2018. Jadi, selama tiga tahun terjadi 198 kasus.
”Data KPAI lainnya malah mencatat, dari lima anak perempuan usia belasan tahun, tiga di antaranya sudah pernah mengalami di-bully secara digital dan dari lima anak lelaki seorang di antaranya pernah juga mengalami hal yang sama. Angka bully yang lebih tinggi pada anak perempuan ini jelas bukan hal yang main-main,” ujar Dewi Bunga, dosen UHN IGB Sugriwa Denpasar saat tampil sebagai narasumber dalam webinar literasi digital yangmengusung topik ”Menegakkan Etika Dalam Pergaulan di Dunia Maya”. Webinar yang diselenggarakan oleh Kementerian Kominfo dan Debindo untuk warga masyarakat Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, ini berlangsung 25 Juni lalu.
Mengapa Dewi minta orangtua serius memperhatikan cyberbullying pada anak?
Dewi Bunga menceritakan satu kasus di Bali yang menimpa (sebut saja) Hendry. Sejak kecil, karena suka memposting foto anak cowok yang berbedak dan pakai lipstick, ia kerap di-bully. Disebut cowok kok genit, kemayu. Bahkan, semasa SMP, pernah jadi korban perbuatan tak senonoh oleh gurunya sendiri. Rupanya Hendri menikmati. Dan kini, setelah lewat remaja, ia berperilaku yang suka sesama jenis. ”Kalau hal itu dibiarkan, bisa jadi tren sosial yang berbahaya bagi masa depan anak Indonesia di masa datang,” kata Dewi serius.
Dewi Bunga intens membahas isu bullying pada anak saat tampil bersama narasumber lain dalam webinar itu, yakni Kokok Hendrianto Dirgantoro (mantan wartawan Jawa Pos yang kini CEO Opal Communication), M. Ilham Nurfatah (konsultan digital safety dari Kaizen Room), Trimono (dosen Sain Data UPN Surabaya), dan Decky Tri (travel blogger) yang tampil sebagai key opinion leader. Webinar itu sendiri dipandu oleh moderator Tommy Romahorbo.
Lebih jauh, Dewi menyebutkan, di Inggris (United Kingdom) sejak 1997 sudah ada regulasi yang mengatur perlindungan bullying dengan sexual and harassment for kid act, baik yang bisa dipakai untuk melindungi perbuatan bullying di dunia nyata maupun maya. Peraturan itu dibuat setelah ada kejadian, seorang anak bunuh diri gara-gara di-bully kawan-kawannya di dunia maya yang sebagian besar tidak ia kenal di dunia nyata.
”Penyebab ejekan dan pemojokan hanya lewat kata-kata sepele, misalnya ’bajumu endak bermerek atau rambutmu keriting. Tapi karena dilakukan oleh begitu banyak anak seusianya, hal itu membuat tekanan psikologis yang kuat sehingga anaknya malu dan bunuh diri. Ini menjadi acaman yang serius buat anak-anak di mana pun,” pungkas Dewi tegas.
Memang, bicara etika di pergaulan digital cukup kompleks. Tidak hanya soal cyberbullying di dunia anak.
Menjaga emosi saat bermedsos, itu ada tatakramanya. Sebab, mengumpat dan melampiaskan kata-kata yang tak senonoh di dunia digital, itu akan terekam dan sangat buruk dampaknya bagi orang yang tak bisa jaga emosi. Contoh lain: saat remaja pacaran, ciuman, lalu diposting, bahkan lebih jauh berbuat tidak senonoh. Meski tak diposting, suatu saat rekaman tersebut bisa jadi bahan pemerasan atau ancaman buat salah satu yang dikecewakan dalam hubungan asmara itu.
”Pelanggaran etika itu pun bisa menjadi masalah hukum di kemudian hari. Makanya, kampanye jangan telanjang di depan kamera mesti terus dibudayakan, karena dampaknya sangat serius,” ungkap Kokok Herdhianto Dirgantoro, ikut menimpali.
So? Sedapat mungkin etika pergaulan digital mesti dijaga agar jauh dari aspek negatif, tapi terus kembangkan diri lewat dunia maya dengan yang positif. Gali potensi diri dari hal yang sederhana, dari hobi dan lingkungan. Kreativitas dan menangkap peluang usaha atau karya yang positif, misalnya dengan menjual hasil dari hobi berkebun bonsai atau beternak hewan yang eksklusif, lalu pasarkan secara digital agar ada pembeli baru.
Asal proses marketingnya sesuai tata krama dan tidak melanggar etika pergaulan bisnis, maka hobi dan kreativitas karya kerajinan atau lukisan karya, lagu bisa menjadi sumber rezeki yang mengalir deras lewat dunia digital. ”Jaga etika bersosial media. Tangkap peluangmu, maka dunia digital sangat membantumu mengembangkan karier dan masa depanmu. Bukan sebaliknya,” pesan Ilham Nur Fatah dari Kaizen Room, memungkas diskusi. (*)
Post a Comment