Jaga Emosi dan Toleransi Agar Ujaran Kebencian Bisa Dicegah
SEMARANG : Di kalangan remaja dan sebagian warganet Indonesia masih banyak yang mengira kalau berkomunikasi di dunia maya seolah bukan berkomunikasi dengan manusia nyata melalui sarana yang berbeda. Sebagian warganet mengira, seolah mereka berhubungan dengan mesin, algoritma angka dan huruf yang tak bertatakrama.
Sehingga, ketika mereka memposting beragam ujaran kebencian (hate speech) atau menebar, meneruskan kabar bohong, hoaks, bahkan di kalangan remaja saling berbuat perundungan, intimidasi sesama, dikira tidak menimbulkan dampak psikologis dan sosial yang meresahkan.
"Itu sikap negatif perilaku warganet yang makin tak terkendali. Makanya mesti segera dihentikan dengan berbagai upaya, khususnya di kalangan remaja bahkan anak-anak," ungkap Titok Hariyanto, aktivis LSM Alterasi Indonesia, Yogyakarta, saat tampil memapar diskusi webinar bertajuk “Ujaran Kebencian Konten dan Regulasi yang Berlaku”, yang digelar untuk warga Kota Semarang, 25 Juni lalu.
Pola pikir keliru tersebut pernah disurvei Pegiat Telematika dari tahun 2017 s.d 2020. Mereka menyurvei 1.164 orang, mendapat data bahwa 48 persen responden mengaku hampir tiap hari terima satu berita bohong, hoaks, bahkan 17,2 persen mengaku bisa tiga-lima kali sehari menerima kabar bohong di medsos yang diikuti,
"Ini bukti, mudah sekali warganet kita menerima dan menebar kabar bohong. Tentu di antaranya berpeluang menebar kebencian dan sikap permusuhan antarkelompok yang membaca alias menjadi ujaran kebencian. Ini realitas sosial di dunia digital yang sungguh memprihatinkan," ujar Titok.
Dalam webinar yang dimoderatori Zacky Ahmad itu, Titok Hariyanto tampil bersama narasumber lain, yakni Zahid Asmara (film maker), Ali Formen Yudha, PhD (dosen Universitas Negeri Semarang), Dr. AP Tri Yuningsih (dosen Fisip Undip Semarang) dan Stephanie Cecilia, finalis Putri Indonesia 2020 yang tampil sebagai key opinion leader. Webinarnya sendiri diselenggarakan oleh Kementerian Kominfo, bekerjasama dengan Debindo.
Titok Hariyanto menambahkan, meski terjadi transformasi media sosial dari analog ke digital, sebenarnya interaksi sosialnya tetap masih sesama manusia nyata. Hanya saja, kini lebih mudah dan cepat responsnya karena kemajuan teknologi digital. "Meski mudah dan cepat, penggunanya harus tetap menjaga toleransi dan saling hormat menghormati, sebagaimana kita hidup bertetangga,” pesannya.
Karena menjaga toleransi, sambung Titok, biasakan untuk saling jaga kebenaran informasi sebelum di-sharing, walaupun di kelas RT. Titok mencontohkan, sekali waktu di grup WA RT-nya, ada warga berbagi video Dr Tirta yang nyeleneh. Suara dan bunyi pesan Dr Tirta dalam video itu terkesan diedit. Disebut, misalnya, orang yang takut berkerumun itu orang bego.
"Berasa aneh, saya cari video versi aslinya. Ternyata di situ Dr Tirta malah menganjurkan prokes dan beragam anjuran positif mencegah beredarnya virus Covid-19. Tentu, teman yang posting tadi kita tegur halus agar tak berulang, karena bisa memicu tudingan penyebar kebencian. Ini kondisi yang mesti dicegah bersama. Saling mengingatkan," tegas Titok.
UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sebenarnya sudah cukup terang mengatur dan memberi ancaman tegas soal pelaku ujaran kebencian. Di Pasal 45A ayat 2 UU ITE No. 19 tahun 2016, yang merevisi aturan sama di UU ITE versi sebelumnya No. 11 tahun 2008, ancaman untuk pelaku pidana ujaran kebencian lewat internet adalah hukuman pidana maksimal sampai 6 tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar.
"Itu sudah lebih dari cukup sebagai pranata hukumnya," ujar Ali Formen Yudha, Ph.D, yang tampil membahas topik tersebut dalam perspektif lain.
Yang lebih penting diupayakan, dalam pandangan Ali Formen, adalah mengurangi dan mengendalikan maraknya ujaran kebencian di dunia maya. “Ini tak cukup hanya dengan meningkatkan dan memperkaya kecakapan literasi digital saja. Kita mesti memperkaya perspektif dan makin terampil menyeleksi info digital yang kita serap dari media sosial. Tumbuhkan empati sosial dan lingkungan masyarakat di dunia medsos, yang mestinya merupakan cerminan kehidupan sosial di dunia nyata. Karena itu, sikap toleransi mesti terus dijaga," pungkas Ali Formen .
Kalau kebiasaan dan tata krama baru itu bisa dijadikan kebiasaan warganet dalam bermedsos, Tri Yuningsih optimistis, serbuan beragam konten beraroma pornografi, penipuan online, perjudian, perundungan hingga radikalisme bisa lebih mudah dikurangi dan dihindarkan dari ruang digital kita. "Khususnya di lingkungan keluarga dan anak-anak. Dikurangi bisa, tapi dipangkas habis masih sulit," ujar Tri Yuningsih, memungkas diskusi. (*)
Post a Comment