Informasi Menyebar Laksana Virus. Sopan dan Beradablah dalam Berdigital
Purworejo – Satu hal yang harus dipahami oleh para pengguna internet umumnya dan media digital khususnya, adalah operator jaringan (network operators) tidak memiliki tanggung jawab hukum (legal liability) untuk setiap konsekuensi kegiatan pengguna melalui jaringan atau platform dan aturan tanggung jawab hukum membebankan penyedia jaringan untuk memantau traffic-nya.
”Artinya, semua aktivitas yang dilakukan warganet di dunia maya menjadi tanggung jawab pengguna sepenuhnya, termasuk akibat hukumnya,” ujar peneliti kebijakan publik Paramadina Septa Dinata saat menjadi narasumber webinar literasi digital dengan tema ”Sopan dan Beradab Berdigital di Masa Covid-19” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Purworeo, Jawa Tengah, Kamis (12/8/2021).
Septa Dinata menyatakan, di masa pandemi banyak terjadi informasi yang tidak jelas sumber asal-usulnya (misinformasi), informasi yang niatnya baik namun keliru penyampaiannya (malinformasi), maupun informasi yang sengaja dibuat salah (disinformasi).
”Salah satu contoh misinformasi pada kasus susu beruang. Niatnya baik tapi keliru penyampaiannya, sehingga antara fix dan fact menjadi kabur. Kalau dulu ada yang namanya dewan redaksi yang berfungsi menjadi editor, di era medsos semua orang telah merangkap beberapa fungsi sekaligus, sehingga misinformasi dan diinformasi merebak dan jadilah infodemik,” ujar Septa.
Menurut Septa, informasi menyebar seperti virus. Misinformasi dan disinformasi, apalagi jika isinya menarik maka akan menyebar lebih cepat lagi, bahkan akibatnya bisa mematikan. Untuk itu, dibutuhkan penilaian informasi secara kritis sebelum menyebarkannya. Selain itu, pengguna media digital bisa memilih untuk tidak menyebarkan informasi, pengecekan fakta ke kanal penyedia layanan, hingga menanyakannya kepada sumber terkait.
Septa menambahkan, ada beberapa risiko berselancar di dunia digital. Salah satunya adalah phising atau suatu tindakan untuk mendapatkan data milik seseorang dengan cara memancing orang tersebut untuk memberikan informasinya secara sukarela.
Cara yang sering dipakai oleh pelaku phising yaitu melalui pemasangan tautan (link) di situs web, media sosial, email, atau SMS untuk memancing korbannya mengklik link tersebut. Biasanya korban akan diarahkan ke halaman web palsu, dan diminta untuk mengisi data pribadinya atau mengunduh file yang tanpa disadari ternyata berisi malware.
”Pelaku phising biasanya mengincar data pribadi seperti NIK, alamat, nomor KK ataupun nomor ponsel. Data finansial misalnya nomor rekening, PIN, nomor kartu kredit, kode OTP, maupun data akun pribadi seperti email, username, password dan lainnya,” jelas Septa di depan 350-an partisipan webinar.
Dalam paparannya, Septa juga menjelaskan beberapa jenis phising yang kini makin marak dijumpai di dunia digital. Selain ’Smshing’ melalui pesan SMS, ’email phising’ dan ’web phising’ yang sudah lama dikenal, kini juga dikenal ’spear phising’, ’whaling phising’, ’angler phising’, dan ’vishing’.
”Intinya semua phising adalah sama, yakni untuk pengelabuan untuk mendapatkan data. Bedanya hanya pada jenis cara dan platform yang dipakai,” tegas Septa.
Narasumber lainnya, Kepala MAN Salatiga Handono menyatakan, pandemi Covid-19 yang masih berlangsung kini telah memberi dampak cukup besar pada bidang ekonomi, pendidikan, sosial hiburan, dan agama. Di bidang ekonomi transaksi banyak dilakukan melalui online, belajar mengajar online di pendidikan, kajian agama online, begitu pun hiburan.
”Selain telah bergeser ke aktivitas online, semua bidang tersebut juga banyak memanfaatkan platform media sosial sebagai sarana menyebarkan informasi kegiatannya,” tutur Handono.
Terkait sopan dan beradab dalam berdigital, Handono menyatakan, hasil sebuah survei menyebutkan kemunduran tingkat kesopanan paling banyak didorong pengguna usia dewasa dengan persentase 68 persen. Faktor ketidaksopanan dalam berdigital di antaranya kesulitan ekonomi, ketidakpastian, dan merupakan respons rasa frustasi.
”Situasi pandemi yang tidak pasti, membuat masyarakat mencari informasi dari berbagai sumber. Sehingga, jika terjadi kesimpangsiuran dan banjir informasi, mereka akan percaya pada apa yang diyakini.
Di sisi lain, kesulitan ekonomi selama pandemi juga jadi penyebab naiknya kasus penipuan. Ujungnya meningkatnya ujaran kebencian di media sosial, yang merupakan respons rasa frustasi yang dialami selama pandemi,” jelas Handono.
Diskusi vitual yang dipandu moderator Dimas Satria itu juga menghadirkan narasumber Iwan Gunawan (praktisi Community Development), Khoironi Hadi (Kepala MAN Temanggung), dan content creator Priesca Ammelia selaku key opinion leader. (*)
Post a Comment