Demokrasi Ranah Digital yang Taat Hukum dan Menghormati Orang Lain
Tegal – Staf Pengajar Universitas Ngurah Rai Denpasar Cokorde Istri Dian Laksmi Dewi mengawali pemaparan materi dalam webinar literasi digital bertema ”Suara Demokrasi di Ranah Digital” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Rabu (25/8/2021) dengan pertanyaan: Apa yang dimaksud dengan kebebasan berekspresi di internet?
”Kebebasan berekspresi di internet adalah ketika kita bisa bebas menyampaikan perasaan, opini, kritik, tanpa takut di-bully, diperkarakan, namun tetap menghargai hak dan kebebasan orang lain,” tutur anggota IAPA (Indonesia Association for Public Administration) itu dalam diskusi virtual yang dipandu moderator Dannys Citra bersama beberapa narasumber lain: Muhamad Achadi (CEO Jaring Pasar Nusantara), Agus Jokowiyono (Sekretaris Dinas Porapar Kabupaten Tegal), M. Fatkhurohman (Pemred Radar Tegal), dan kreator konten Galuh Pujangga selaku key opinion leader.
Kebebasan berekspresi (demokrasi) dalam praktiknya, lanjut Laksmi Dewi, juga bermakna dapat berekspresi sebebas-bebasnya, mulai dari topik politik hingga pengalaman hidup sehari-hari namun tetap sesuai norma dan aturan yang belaku. ”Bisa upload foto tanpa ada yang inbox/DM di grup IG yang 18+, atau dikomen salam kenal dan di-inbox ’hei, hello’, karena saya risih dan enggak nyaman diperlakukan seperti itu,” jelas Laksmi Dewi.
Menurut Laksmi Dewi, istilah kebebasan berpendapat dan berekspresi di ranah digital diartikan sebagai setiap tindakan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi untuk mengembangkan pribadi dirinya. ”Jadi, unsurnya adalah mencari, menerima, menyampaikan, dan mengembangkan,” tegasnya.
Meskipun kebebasan berpendapat dan berekspresi dilindungi konvenan internasional tentang hak-hak sipil dan politik (ICCPR) pasal 19, namun pelaksanaan hak-hak yang dicantumkan dalam ayat 2 pasal ini menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus. Oleh karenanya, dapat dikenai pembatasan tertentu.
”Tetapi hal ini hanya dapat dilaksanakan sesuai dengan hukum dan sepanjang diperlukan untuk menghormati hak atau nama baik orang lain, dan melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum juga kesehatan atau moral umum,” imbuh Laksmi Dewi.
Beberapa peraturan mengenai berpendapat dan berekspresi di Indonesia: Pasal 154-157, 315-316, 160-161, 310-311 dalam KUHP, Pasal 28 ayat 2 UU ITE, Pasal 14 dan 15 UU No. 1 Tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana, Pasal 16 UU No.40 Tahun 2008 tentang diskriminasi ras dan etnis, serta Pasal 27 ayat 3 dan 4 UU ITE.
Laksmi Dewi menambahkan, kebebasan berpendapat dan berekspresi juga dapat mengancam ketertiban umum, seiring dengan hadirnya hoaks sebagai kesalahan informasi di dunia maya. Selain itu, jenis information disorder seperti disinformasi, misinformasi, dan malinformasi akan mengganggu unsur dalam hak berpendapat dan berekspresi. ”Hate, crime, dan hoaks, bukan bagian dari kebebasan berpendapat,” tegasnya.
Kebebasan berbicara di mana setiap orang berhak atas kebebasan beropini dan berekspresi di ranah digital, menurut Laksmi Dewi, tetap memiliki ancaman. Di antaranya, pidana akibat UU ITE, bullying, intimidasi, ujaran kebencian, pembatasan akses (blokir), cyber crime, pelanggaran privasi, dan hoaks.
Narasumber lain dalam webinar ini, pemimpin redaksi Radar Tegal Fatkhurohman menyatakan, suara demokrasi di ranah digital memiliki aspek sisi positif dan negatifnya. Sisi positifnya, mengubah moda komunikasi politik, dan masyarakat netizen telah ikut terlibat secara aktif dalam proses-proses pengambilan keputusan strategis dalam bidang kebijakan publik. Kemudian, kaum netizen juga aktif memberikan fungsi kontrol terhadap jalannya pemerintahan, baik pusat maupun daerah.
”Bahkan, dalam proses pilkada, demokrasi digital tampak mulai mengambil peran strategis dengan tampil di ruang publik secara virtual, melakukan diskusi kritis di seputar isu pilkada,” ujar Fatkhurohman.
Sisi negatifnya, lanjut Fatkhurohman, banyak ditemukan adanya meme, pesan viral, trolling, ataupun cyber-bullying menjadi masalah dalam membangun demokrasi digital yang lebih berkualitas. Karakter anonimus juga sering menjadi faktor potensial yang mengarah pada munculnya gejala demokrasi yang tidak lebih dari sekadar keriuhan penuh pergunjingan politik.
”Pilkada misalnya, seringkali lebih mengedepankan sisi buruk dari masing-masing pribadi para calon, ketimbang adu program. Sehingga, media sosial lebih banyak digunakan untuk saling menyerang dengan mengembuskan isu primordial,” pungkas Fatkhurohman. (*)
Post a Comment