Demokrasi Jadi Bermakna, Kalau Medsos Tak Kumuh dengan Kemarahan
Batang : Ruang digital yang kumuh. Itu tantangan yang menghadang dalam digitalisasi demokrasi kita. ”Mestinya, buah hasil reformasi yang menjadi sarana tumbuh kembangnya demokrasi adalah kebebasan berpendapat. Tapi di era digital saat ini, ekspresi kebebasan berpendapat dalam beragam bentuk media sosial digital justru mengumbar kekumuhan,” ujar Dr. Arie Sujito, dosen Sosiologi Fisipol UGM saat tampil dalam webinar literasi digital bertopik ”Kedewasaan Demokrasi di Era Digital”.
Mengapa medsos kita terasa kumuh? ”Medsos kumuh karena netizen dan sebagian besar orang merasa sangat bebas marah, mengumbar kemarahan atas nama etnis, agama atau partai politik, tanpa menghormati hak orang lain untuk berbeda perspektif. Ini membuat demokrasi menjadi kehilangan makna,” ujar Arie, lebih mengurai diskusi membuka awal webinar yang digelar oleh Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Batang, 28 Juni lalu.
Isu menarik yang berkembang dalam diskusi tersebut adalah digitalisasi untuk merawat demokrasi. Langkah nyata memanfaatkan instrumen teknologi digital untuk merawat demokrasi agar lebih bermakna dan bermanfaat bagi tata kehidupan sosial masyarakat yang lebih bernilai kemanusiaan dan berkeadaban dengan memaksimalkan fungsi teknologi digital.
Tetapi untuk mewujudkannya, menurut Arie, sedari awal kita sudah berhadapan dengan tantangan menghadang terkait fenomena ruang digital yang kumuh tersebut. ”Kalau kekumuhan itu bisa ditata kelola lebih bersih dari hoaks dan ujaran kebencian, sehingga fungsi media sosial sebagai sarana ekspresi yang proporsional dan positif serta sarana kritik sosial yang efektif, maka langkah digitalisasi demokrasi lewat media sosial bisa diharapkan lebih bermakna,” papar Arie.
Arie berpendapat, peran media sosial saat ini dan ke depan masih sangat penting untuk mengawal proses demokrasi pasca reformasi. Karena peran tumbuh kembangnya demokrasi tidak bisa dibebankan pada keberadaan undang-undang dalam menata pranata hukum dan kehidupan bernegara. ”Yang mengawasi undang-undang agar berjalan sesuai tujuan harus tetap ada. Membuat undang-undang itu mudah, yang susah adalah menjaga agar undang-undang itu tidak konsluiting. Menjaga agar undang-undang bisa berjalan sesuai tujuan dibuatnya,” jabar Arie lebih jauh.
Arie tak sendiri mengurai diskusi menarik siang itu. Dipandu moderator Triwi Dyatmoko, juga tampil tiga pemateri lain, yakni: Zain Handoko (pengajar Pesantren Aswaja Nusantara), Fajar Nursahid (Direktur Eksekutif LP3ES dan dosen politik Universitas Bakrie Jakarta), Antovani Reza Pahlevi (CEO Shinta VR/Founder Pantoera.id) serta Sherrin Thania, musisi yang tampil sebagai key opinion leader.
Menata kekumuhan medsos butuh proses panjang. ”Riset kami di LP3ES tahun ini membuktikan, 48 persen warganet Indonesia memang punya kebiasaan men-share informasi yang dia dapat tanpa saring dan cek atau dipikir dulu. Mengapa? Mereka meyakini informasi yang didapat kalau bersumber dari teman atau sumber yang dia kenal dan percaya. Ini suatu kebiasaan yang perlu diperbaiki,” ujar Fajar Nursahid, Direktur Eksekutif LP3ES.
Caranya? Tingkatkan kemampuan literasinya. Tingkatkan wawasan yang tidak hanya cakap digital, tapi juga butuh daya nalar dan banyak literasi yang perlu dibaca, baik buku atau jurnal online yang banyak di media sosial untuk memperkaya wawasan agar tidak mudah emosi dan lebih mau menjaga kebiasaan untuk segera berbagi tanpa memastikan dulu kebenaran informasinya. ”Kebiasan ini penting untuk tidak mudah menyebar hoaks dan ujaran kebencian dalam media sosial yang dibaca banyak orang, di mana tentu akan direspon beragam tanggapan,” papar Fajar.
Mengkampanyekan budaya bermedsos yang cerdas, itu kunci pentingnya, sahut Arie Sujito. Yakni, bagaimana agar para pengisi media sosial belajar untuk semakin beradab, menghormati tata krama bermedia sosial yang etis. Sehingga ke depan kalau ada pilkada dan pilpres, para kontestan bisa memanfaatkan media sosial lebih bermartabat. Masyarakat pemilih bisa menyalurkan aspirasi dan masukan, juga kritik buat para peserta kontestan pilkada dan pilpres dengan tepat dan efektif.
”Dengan begitu, demokrasi dalam dunia digital akan menemukan marwah dan manfaat yang diinginkan oleh penggagasnya: menjadi bangsa yang cerdas, bermartabat, dan bermoral, baik di dunia maya maupun dunia nyata,” pungkas Arie Sujito, mantap. (*)
Post a Comment