Cara Agar Kontenmu Tak Melanggar HAKI
DEMAK: Membludaknya platform digital, seiring perkembangan teknologi informasi, menggoda banyak kalangan pengguna ruang digital untuk produktif dan kreatif dalam berbagi informasi berbagai bentuk, mulai teks hingga audio visual.
"Namun dengan kemudahan itu jangan sampai kita terjebak dalam pusaran kasus pelanggaran hak atas kekayaan intelektual atau HAKI, seperti misalnya penyebaran konten ilegal yang digunakan atau diperjualbelikan tanpa diketahui oleh pemilik karya," ucap Rino A. Nugroho, Head of International Office UNS saat menjadi pembicara dalam webinar literasi digital bertema ”Posting Konten? Hargai Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI)" yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Rabu (18/8/2021).
Rino mengingatkan, meski seringkali tak nampak jelas atau tersamar, data atau konten di internet pasti memiliki hak cipta, sehingga pengguna wajib berhati-hati. Menjadi kreatif merupakan satu syarat mutlak untuk terhindar dari jebakan pelanggaran HAKI ini.
"Jangan terlalu mengandalkan ketentuan Fair Use, baik untuk konten penelitian, pembelajarangl hingga kritik dan laporan," kata Rino. Fair use selama ini sering jadi andalan karena menjadi satu doktrin soal hak cipta yang dalam kondisi khusus mengizinkan orang memakai materi berhak cipta dengan cara yang wajar meski tanpa persetujuan pencipta.
Prinsip ini diterapkan pula di sejumlah negara dan masuk dalam ketentuan hukum nasional negara seperti Indonesia juga Amerika Serikat. "Selain itu, untuk menghindari pelanggaran HAKI sebaiknya hindari pemakaian karakter fiktif," tegas Rino.
Rino membeberkan, pelanggaran hak cipta di dunia digital sebenarnya juga bisa diantisipasi dengan langkah dini. Misalnya pada kasus pelanggaran HAKI yang terjadi di ruang media sosial.
"Setiap platform social media kini menyediakan fitur untuk pelaporan hingga take down/suspend konten-konten yang melanggar hak cipta," ujarnya.
Untuk dipahami, lanjut Rino, hak kekayaan intelektual tak sebatas hak cipta semata. "Ada juga merek, paten, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu, rahasia dagang juga indikasi geografis dan indikasi asal," jelasnya. Jadi, perlindungan kekayaan intelektual di ruang digital berlaku persis di dunia nyata yang dilindungi UU No. 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta. Sedangkan soal royalti hak cipta diatur dalam PP Nomor 56/2021.
Rino menambahkan, maraknya pelanggaran hak cipta tak bisa dilepaskan dengan cara instan yang hendak ditempuh orang guna menghasilkan pundi-pundi uang dari konten yang diunggahnya. "Ini juga sejalan dengan terus tumbuhya konten kreator di dunia khususnya di Indonesia," tegasnya.
Rino menuturkan, pada 2020 silam misalnya konten kreator tumbuh sekitar 50 juta orang di dunia. Namun dari jumlah itu konten kreator profesional hanya berkisar 2 juta orang dan sisanya konten kreator amatir.
Maraknya konten kreator ini tak bisa dimungkiri sebagai imbas laju pertumbuhan media konvensional ke digital yang kian pesat yang memicu perkembangan para konten kreator.
Masyarakat semakin mudah dalam berkarya dan mengekspresikan karyanya dan banyak media yang bisa jadi pilihan berkarya, mulai dari media sosial, dan yang paling populer yaitu Youtube. Beberapa konten yang marak diminati diproduksi mulai dari konten prank, konten tutorial, konten musik, konten berita hingga web series.
Narasumber lain dalam webinar itu, Novitasari dari perwakilan Kantor Kementerian Agama Kabupaten Demak mengatakan, hak kekayaan intelektual menjadi padanan kata yang biasa digunakan untuk Intellectual Property Rights (IPR), di mana hak itu timbul karena adanya kemampuan intelektualitas manusia dalam berbagai bidang kehidupan.
"Jadi HAKI ini berlaku untuk melindungi hasil pemikiran manusia di berbagai bidang mulai dari seni, sastra, ilmu pengetahuan, estetika sampai teknologi," kata Novitasari. Dalam penerapannya berlaku regulasi untuk melindungi hak cipta ini:
"Karena hak cipta ini hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," tegas Novita.
Webinar yang dimoderatori Mohwid ini juga menghadirkan narasumber lain: yakni dosen UIN Surakarta Abd. Halim, anggota Komisi Kajian Ketenagakerjaan MPR RI Nuzran Joher, serta Putri Shabrina selaku key opinion leader. (*)
Post a Comment