Boleh Belajar Agama di Medsos, Tapi Lebih Baik 'Wajhan bi Wajhin' dengan Guru
Banjarnegara - Program literasi digital masih digencarkan pemerintah untuk mengakselerasi kecakapan masyarakat dalam menggunakan dan memanfaatkan teknologi digital. Wujud dari program ini, salah satunya, adalah webinar dengan tema "Mendalami Agama di Dunia Maya" yang diselenggarakan untuk masyarakat di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, Kamis (5/8/2021).
Kegiatan yang dipandu oleh moderator Triwi Dyatmoko (entertainer) ini menghadirkan empat pemateri yang cakap pada bidangnya: Muhammad Mustafid (ketua LP3M UNU Yogyakarta), Satriyo Wibowo (konsultan brand dan komunikasi), Slamet Wahyudi (Kasi Pendidikan Madrasah Kantor Kemenag Jateng), dan Fitriana Aenun (Kepala MTsN 3 Purworejo), serta key opinion leader Melvya Farda (beauty enthusiast).
Selain tema tersebut, masing-masing narasumber menyampaikan materi dari sudut pandang empat pilar utama literasi digital, yaitu Budaya Bermedia Digital (Digital Culture), Aman Bermedia (Digital Safety), Etis Bermedia Digital (Digital Ethics), dan Cakap Bermedia Digital (Digital Skills).
Slamet Wahyudi menyampaikan, pembelajaran di abad ke-21 banyak mengalami pergeseran, termasuk bagaimana masyarakat mendalami agama. Transformasi digital membuat akses terhadap informasi sangat mudah, sehingga peserta didik didorong untuk mencari tahu sumber informasi daripada diberitahu. Teknologi komputasi mendorong peserta didik untuk tidak hanya menyelesaikan masalah tetapi juga menemukan masalah.
Kemudian otomasi mendorong peserta didik untuk melatih berpikir analitis dalam pengambilan keputusan. Kemudahan komunikasi menekankan peserta didik untuk melakukan kerja sama dan kolaborasi dalam menyelesaikan masalah.
Pergeseran paradigma itu rupanya juga berlaku dalam belajar mendalami agama. Belajar agama, jelas Slamet, merupakan kemampuan seseorang dalam memahami ajaran agama yang abstrak, mampu memberikan contohnya, menginterpretasikan dan memahami nasihat yang timbul dari ketaatan menjalankan agama dan akibat yang harus diterima ketika melanggar perintah agama.
"Belajar agama dipengaruhi oleh faktor sosial, berbagai pengalaman, kebutuhan, dan juga proses pemikiran. Sedangkan media sosial dan kecanggihan teknologi saat ini menjadi ladang bagi masyarakat, khususnya generasi muda, untuk memperdalam ilmu agama," jelas Slamet.
Sebaik-baiknya media sosial dalam mendapatkan pencerahan agama, warga digital harus paham bagaimana menggunakan medsos agar tidak terjerembab ke dalam informasi yang salah.
"Bermedsos harus mengedepankan tabayyun atau mampu berpikir kritis sebelum mengunggah atau menyebar informasi. Menyampaikan informasi dengan benar, tidak menebar fitnah dan kebencian, digunakan untuk amar ma'ruf nahi munkar, tidak menebarkan hoaks, dan mengolok-olok," imbuhnya.
Aliran positif tersebut perlu dijaga, sebab banyak masyarakat kini cenderung mencari sumber informasi agama melalui internet. Akibatnya masyarakat hanya fokus pada otoritas agama tertentu, sehingga secara tidak langsung menganggap otoritas agama seperti guru, kiai, dan ustad hanya sebagai alternatif.
"Dua hal yang penting diperhatikan dalam belajar agama yakni belajar dengan orang yang jelas keilmuan dan kealimannya. Serta tahu dengan jelas keseharian dari guru agama yang akan dijadikan sumber ilmu. Boleh belajar agama di media sosial namun hanya sebagai tambahan pengetahuan saja. Yang pokok dan mendasar harus wajhan bi wajhin atau belajar secara tatap muka seperti di masjid atau di majelis taklim, pondok pesantren, madrasah. Karena kita bisa tahu kesehariannya, akhlaknya dan amaliah guru kita," tambahnya.
Belajar di majelis ilmu akan mendapat contoh langsung tentang akhlak dan tawa dari gurunya, sebab akhlak tidak bisa diajarkan lewat internet. Begitupun aktivitas keagamaan yang menyangkut hubungan manusia dengan penciptanya.
Sementara itu Fitriana Aenun menambahkan, dalam konteks budaya belajar agama juga tetap harus mengedepankan pilar kebangsaan. Yakni, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Undang-Undang Dasar.
"Kita harus menggunakan nilai Pancasila yang mengajarkan nilai cinta kasih apa pun agama kita dan menghormati perbedaan. Mampu memperlakukan orang lain dengan adil, menjaga harmoni dengan mengutamakan kepentingan Indonesia di atas kepentingan pribadi atau kelompok, serta mengutamakan nilai gotong royong," jelas Fitriana kepada 600-an peserta diskusi.
Dalam kaitannya dengan belajar agama di media sosial, internet dan platform digital memang memberikan kemudahan untuk mengakses konten agama, baik berupa teks, audio visual dan lainnya. Apalagi bagi generasi Z yang memang akrab dengan internet dan teknologi digital.
"Sayangnya di platform digital tidak semua sumber informasinya kredibel atau terpercaya dan media sosial rentan disusupi propaganda atas nama agama, terorisme, radikalisme, dan intoleransi. Karena itu sebaik-baiknya belajar ilmu agama itu dilakukan di sekolah formal, pondok pesantren, dan pemuka agama yang kredibilitas keilmuannya memang bagus untuk menjadi panutan. Selebihnya, media sosial hanya menjadi sumber tambahan," pungkas Fitriana. (*)
Post a Comment