Belajar Agama di Dunia Maya, Mengapa Tidak? Ini Syaratnya
Temanggung – Bidang agama selalu menjadi ladang hoaks, karena bersinggungan dengan kepercayaan pribadi masing-masing. Orang akan gampang terprovokasi kalau agamanya disudutkan.
”Apalagi, jika ada orang atau kelompok yang sengaja membenturkan satu agama dengan agama yang lain dengan melontarkan isu hoaks di media sosial,” ujar Amhal Kahefahmi pada acara webinar literasi digital bertajuk ”Dalami Agama di Dunia Maya” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, Senin (9/8/2021).
Ujaran berbau agama, lanjut Fahmi, akan dengan mudah menyulut luapan emosi sehingga memicu terjadinya pergesekan di tengah masyarakat. Bahaya isu agama yang masuk ke ranah media sosial juga mampu mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
Amhal Kaefahmi menyatakan, terjadinya miskomunikasi di antara pemeluk agama juga akan mengakibatkan perpecahan di kalangan masyarakat luas, salah satunya melalui media sosial. Sarana yang paling sering digunakan untuk memprovokasi masyarakat ialah media sosial.
Dengan jumlah pengguna internet di Indonesia yang lebih dari 200 juta, kata Fahmi, tak ada jaminan pemakaian media sosial hanya digunakan untuk hal baik dan benar. Hal itu tak lepas dari adanya perbedaan latar belakang masing-masing pengguna media sosial.
Terkait pendalaman agama melalui dunia maya, Fahmi berpendapat, sejatinya media online mempermudah belajar apa pun, termasuk belajar agama. Dunia maya dengan sejumlah aktivitasnya, pada titik tertentu dianggap dapat menggantikan dunia nyata, sehingga makna substansial ajaran agama mengalami ancaman serius.
”Kendati demikian, semua fenomena ini tetap dapat dipandang sebagai ’kegairahan baru’ bagi agama pada masa depan,” cetus Fahmi.
Belajar agama di dunia maya memiliki sisi positif atau kelebihan maupun sisi negatif kekurangannya. Sisi positifnya, sebagai sumber belajar agama dunia maya menyediakan banyak variasi literatur akademik, baik yang berupa teks, audio video ceramah tokoh agama, yang tersebar melaui blog, portal hingga aplikasi.
”Sisi negatifnya, tidak semua sumber dan konten otoritatif. Begitu juga tidak semua sumber dan konten sesuai dengan kaidah-kaidah keilmuan agama,” jelas Fahmi.
Lebih lanjut Fahmi menjelaskan, internet hanya mampu melakukan pembelajaran kognitif manusia, pembelajaran perilaku tidak bisa dilakukan dengan internet. Untuk mendalami agama di dunia maya butuh panduan guru yang baik dan otoritatif.
Narasumber lain, pengajar UMNU Kebumen Mustolih menyampaikan, kini banyak orang melakukan kegiatan pencarian materi agama di dunia maya. Namun, tidak sedikit pula yang keliru dalam memilih situs ataupun tokoh sebagai sumber belajar mendalami ajaran agama.
Dalam dunia maya, kata Mustolih, konten-konten yang bersifat positif sedikit sekali diproduksi. Sebaliknya, produk konten yang bersifat negatif akan lebih mudah ditemukan. Akibatnya, pembodohan terhadap masyarakat masih terus berlangsung hingga kini.
Kebenaran agama itu bersifat absolut, kata Mustolih. Hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, maupun dengan lingkungannya, semuanya diatur dalam agama, termasuk toleransi. Ini berbanding terbalik dengan dunia maya.
“Di dunia maya, siapa yang terkenal akan dijadikan referensi. Ini sangat berbanding terbalik dengan agama yang lebih mementingkan etika dan kebenaran, bukan keterkenalan. Mendalami agama juga butuh literasi digital,” jelasnya.
Mustolih menambahkan, dalam agama itu ada akhlak, kejujuran, keberanian, dan tanggung jawab. Sebaliknya yang ditampilkan dunia maya, ujaran kebencian, hoaks, pornografi, perjudian, provokasi, dan semua yang masuk dalam tindak kejahatan maupun asusila yang bertentangan dengan akhlak dan moral agama justru banyak ditampilkan.
Di dunia maya, warganet lebih sering mengunggah sesuatu yang bombastis mudah viral dan terkenal. Mereka tak segan melakukan sesuatu yang ganjil untuk mendapatkan apresiasi dari sesama pengguna media sosial lainnya.
”Kita harus jeli, dan tak perlu ikut-ikutan memberikan apresiasi. Mendalami agama di dunia maya tidak harus dengan ikut memviralkan ucapan tokoh agama sekalipun. Karena sesuatu yang viral belum tentu benar. Banyak yang ingin viral lalu mengabaikan nilai-nilai norma agama, moral dan etika,” jelas Mustolih.
Webinar yang dipandu oleh moderator Triwi Dyatmoko itu juga menghadirkan narasumber Abdulatif (dosen Ilmu Hadits IAIN Salatiga), H. Ahmad Sugijarto (Kepala Seksi Pendidikan Madrasah Kantor Kementerian Agama Kabupaten Temanggung), dan Dinda Laurensia selaku key opinion leader. (*)
Post a Comment