Atasi Kecanduan Digital dengan Bermedia Sosial yang Kreatif, Produktif dan Bermanfaat
Banyumas – Staf Pengajar Departemen Ilmu Komunikasi Fisipol Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Nyarwi Ahmad Ph.D mengatakan, cara menghindari kecanduan digital -- selain menjadi pengguna platform digital secara kreatif dan produktif -- juga menanamkan dan membiasakan penggunaan media sosial untuk hal-hal yang bermanfaat.
Nyarwi mengungkapkan, masyarakat digital bukan hanya masyarakat informasi (information society), namun juga berupa masyarakat jaringan (network society) yang berbasis platform digital. Masyarakat ini terbentuk dan dibentuk oleh perkembangan teknologi komunikasi digital (internet dan media sosial).
Masyarakat tersebut juga ditandai dengan tingkat penggunaan dan ketergantungan yang terus meningkat tinggi pada beragam jenis platform media digital, dan para individu yang ada di dalamnya memiliki tingkat interaksi dan jejaring yang kuat dengan para individu dan organisasi atau institusi pengguna beragam jenis platform media digital.
”Perkembangan masyarakat digital ini membawa konsekuensi munculnya beragam risiko baru, salah satunya adalah ketergantungan dan kecanduan pada penggunaan platform media digital (sosial),” tutur Nyarwi Ahmad pada webinar literasi digital bertajuk ”Kecanduan Digital: NO, Kreatif & Produktif: YES” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Senin (16/8/2021).
Nyarwi menyebutkan, banyak contoh ”kegilaan” sebagai akibat dari kecanduan media digital, hingga nyawa sebagai taruhannya. Bulan April lalu, sekelompok remaja di Sentul, Bogor, mencoba mencegat truk tronton demi konten media sosial justru berujung pada kematian yang menimpa salah satunya lantaran terlindas roda tronton. Hal yang sama juga terjadi di Tangerang dan Bekasi bulan berikutnya.
”Bahkan percakapan publik dalam seminggu terakhir (8-14 Agustus
2021) mengenai kecanduan media sosial terus meningkat, puncaknya tanggal 13 Agustus,” jelas Nyarwi.
Lalu, bagaimana cara mengatasi kecanduan media sosial? Menurut Nyarwi, caranya harus menanamkan prinsip dasar: aktivitas bermedia sosial harus untuk hal-hal yang produktif dan bermanfaat. Dan bagi yang memiliki karakter ekstrovert: harus melatih membiasakan kontrol diri dalam penggunaan media sosial.
”Kapan waktu yang tepat menggunakan media sosial? Berapa lama menggunakannya? Dalam kondisi apa harus menggunakannya?” urai Nyarwi.
Kemudian, untuk mengatasi kecanduan juga mesti paham karakteristik media sosial dan bermedia sosial dengan kesadaran mengenai tujuan penggunaannya: apa saja manfaat dari fitur-fitur media sosial yang dapat diberikan kepada kita? Apakah penggunaan media sosial tersebut benar-benar akan memberikan manfaat buat kita? Jika iya, seperti apa manfaat yang bisa kita dapatkan?
Cara berikutnya, menyeimbangkan pola interaksi sosial: interaksi melalui media sosial versus interaksi melalui tatap muka langsung versus interaksi melalui media komunikasi lainnya (WhatsApp, telephone, video conference)
Nyarwi menambahkan, hal-hal kreatif, produktif dan bermanfaat dari media sosial di antaranya: untuk presentasi atau ekstensi diri di ruang publik digital, untuk pergaulan sosial, pembelajaran dan pendidikan, kehidupan profesional, bisnis dan e-commerce.
”Tak kalah penting dakwah sosial keagamaan, advokasi sosial dan pemberdayaan masyarakat, early warning system bencana, menggalang program-program kemanusiaan atau donasi,” sebut Nyarwi.
Narasumber berikut dalam webinar ini, redaktur Betanews.id Ahmad Muhlisin menyatakan, internet itu seperti rimba belantara. Isinya ada yang bahaya, tapi ada juga yang baik. Saking dominannya internet dalam kehidupan sehari-hari, tak heran jika kini banyak anak kecil jika ditanya cita-citanya kelak ingin jadi apa, jawabnya: Youtuber atau Gamer.
Namun, ada persoalan serius terkait penggunaan media digital kita. Berdasarkan data survei indeks literasi digital nasional 2020 di 34 provinsi di Indonesia, akses terhadap internet ditemukan kian cepat, terjangkau, dan tersebar hingga ke pelosok.
”Sayangnya dalam survei tersebut juga terungkap bahwa literasi digital masyarakat Indonesia masih berada pada level sedang,” tutur Muhlisin.
Ahmad Muhlisin mengatakan, kurangnya kecakapan digital dalam menggunakan perangkat keras dan perangkat lunak menimbulkan penggunaan media digital yang tidak optimal. Lemahnya budaya digital juga bisa memunculkan pelanggaran terhadap hak digital warga.
Sementara rendahnya etika digital, lanjut Muhlisin, berpeluang menciptakan ruang digital yang tidak menyenangkan karena terdapat banyak konten negatif. Dan, rapuhnya keamanan digital berpotensi terhadap kebocoran data pribadi maupun penipuan digital.
Muhlisin menambahkan, semakin tinggi aktivitas masyarakat dalam mengakses berbagai layanan di internet, menjadi angin segar bagi mereka. Karena, aktivitas ini dapat membuka peluang masyarakat untuk lebih berdaya. Namun di sisi lain, tingginya aktivitas digital juga membuka potensi buruk, misalnya kejahatan digital.
”Kejahatan siber yang sering terjadi: pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, penipuan, sabotase, pemerasan, hingga konten ilegal," ujar Muhlisin. Sedangkan kasus terkait dengan keamanan digital yang cukup sering terjadi, misalnya penipuan dan pencurian akun yang terjadi pada berbagai platform layanan digital.
Diskusi virtual yang dipandu oleh moderator Eva Jalesveva itu juga menampilkan narasumber H. Agus Mahasin (Kasi Guru Pada Bidang Pendidikan Madrasah Kanwil Kemenag Provinsi Jateng), Akhsin Aedi (Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Banyumas), dan content creator Candra Aditia selaku key opinion leader. (*)
Post a Comment