Akreditasi Sekolah Secara Online, SDM Lini Pendidikan Perlu Ditingkatkan
Kulon Progo - Di lini pendidikan, pandemi Covid-19 tidak hanya mengubah sistem pembelajaran yang kini dilakukan secara daring. Proses akreditasi sekolah pun tengah disiapkan secara daring pula. Hal itulah antara lain yang dibahas dalam webinar literasi digital yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) untuk masyarakat Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis (5/8/2021).
Literasi digital merupakan program pemerintah untuk mengakselerasi tingkat kecakapan masyarakat dalam menggunakan dan memanfaatkan teknologi digital. Yakni dengan berpegang pada empat pilar: digital culture, digital ethics, digital skill, dan digital safety.
Harry Perdana (entertainer) memandu diskusi virtual ini yang diisi oleh empat narasumber: Cahyono (pendidik MA Nur Iman), Irfan Bahtiar (social media enthusiast), Awaludin Abdullah Djawahir (koordinator pengawas SMK), dan Sugeng Subagiyo (Badan Akreditasi Nasional Sekolah). Selain itu, hadir pula Mona Larisa (musisi) sebagai key opinion leader.
Mengawali diskusi, Cahyono mengatakan, literasi digital selain menekankan pada kecakapan pengoperasian media dan teknologi digital, juga menuntut pengguna agar mampu menggunakan dan memanfaatkannya dengan penuh tanggung jawab. Literasi digital juga akan menjadi pendukung dalam transformasi akreditasi sekolah berbasis teknologi digital, kinerja guru dan kegiatan sekolah akan didokumentasikan dalam bentuk digital yaitu menggunakan data sebagai sumber informasi.
"Jadi, sekolah sebagai pengelola data informasi harus paham bagaimana mengatur data dan info sekolah dan madrasah agar tidak semrawut. Kemudian pengelola sekolah mampu berkomunikasi dan berkolaborasi dalam menyiapkan akreditasi, mampu mengkreasikan konten untuk proses belajar mengajar, bisa mengelola keamanan digital, serta partisipasi dan aksi untuk mewujudkan kebermanfaatan menggunakan teknologi digital," ujar Cahyono.
Kompetensi keamanan digital wajib dimiliki, baik sebagai guru maupun murid. Di dalamnya meliputi pengamanan perangkat digital dan identitas digital, agar data yang ada di dalam perangkat yang dimiliki tetap aman.
Irfan Bahtiar menyambung, bahwa mengikuti arus transformasi digital penting untuk menunjang aktivitas di lini pendidikan. Hal ini karena efektivitasnya yang bisa memangkas biaya dan sumber daya manusia (SDM), efektif dan efisien karena data yang dikumpulkan dapat disimpan secara rapi, aman, dan diakses kapan saja menggunakan teknologi cloud computing. Bahkan, data masih bisa dilakukan recovery ketika terhapus.
"Singkatnya, akreditasi secara online memangkas kinerja yang tidak banyak diperlukan. Selain data yang berupa file, visitasi juga dilakukan dengan online yang memangkas waktu dan SDM," jelas Irfan kepada 500-an peserta diskusi.
Meski kelebihan akreditasi online mempermudah proses penilaian, menjamin transparansi penilaian dan kejujuran, juga efisiensi besar-besaran dalam penyediaan dokumen, namun kurangnya SDM yang paham teknologi menjadi hambatan transformasi. Selain itu, infrastruktur seperti penyediaan server yang masih terganggu, jaringan internet kurang baik, dan perangkat yang digunakan belum memadai merupakan kendala yang perlu diperhatikan.
Di sisi lain, Awaludin Abdullah Djawahir mengatakan, peringkat akreditasi yang menjadi kebanggaan dan harapan bagi semua pihak sekolah. Transformasi akreditasi sekolah yang berbasis teknologi menurutnya merupakan budaya baru yang timbul karena dampak pandemi Covid-19. Maka, dalam penerapannya, pengelola harus mampu mengubah pola pikir atau mindset untuk mau beradaptasi dengan perkembangan teknologi.
"Reformasi akreditasi sekolah itu berdasarkan kinerja, sehingga perlu peningkatan kualitas sumber daya manusia di sekolah binaan. Karena tim digitalisasi sekolah harus menyiapkan bukti kinerja sekolah binaan secara digital," imbuh Awaludin.
Pencermatan pembuktian kinerja selama akreditasi sekolah dilakukan dengan menelaah data digital, wawancara virtual, observasi virtual dan angket. Maka setiap data yang diunggah harus valid, sesuai dengan hasil observasi virtual, sesuai dengan data warga yang diajak wawancara virtual, dan triangulasi data dilakukan untuk mendukung munculnya keputusan.
Lebih lanjut, Sugeng Subagiyo menambahkan, meskipun ada transformasi secara online namun model bisnis sistem akreditasi masih dilakukan dengan metode kombinasi. Yakni, proses akreditasi otomatis dan akreditasi manual dengan kunjungan sekolah. Perpanjangan status akreditasi otomatis melalui mekanisme Sistem Monitoring Sekolah Terakreditasi (dashboard), sedangkan reakreditasi manual dilakukan karena beberapa faktor.
"Etikanya dalam proses akreditasi pengelola sekolah mampu menyajikan data kinerja yang telah dan sedang dikerjakan secara jujur, memberikan update keberlanjutan Dapodik dan EMIS. Kinerja diukur bukan dari hasil produknya saja, tetapi prosesnya juga, akurasi data bukan berdasarkan rekayasa melainkan fakta, dan penyajian data digital dalam proses akreditasi tidak bisa dilakukan secara serta merta. Apabila mengabaikan digital ethic dalam pelaksanaan akreditasi, maka sekolah atau madrasah akan mendapatkan ganjarannya sendiri," pungkasnya. (*)
Post a Comment