Teknologi Berubah, Prinsip Budaya Tak Boleh Luntur di Era Digital
Purbalingga - Transformasi teknologi bukan merupakan hal yang baru di era 4.0 saat ini. Sebab, sebelumnya, kehadiran teknologi yang memantik perubahan baru juga terjadi di era-era sebelumnya. Perubahan-perubahan yang terjadi itu kemudian menciptakan budaya yang disesuaikan dengan teknologi yang ada.
Pembahasan hangat soal itu muncul dalam kegiatan webinar literasi digital yang digelar oleh Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, Selasa (6/7/2021) pagi ini.
Salah satu pemateri, Akhmad Ramdhon (staf pengajar Fisip UNS) mengatakan, jejak transformasi yang pernah kita alami membawa pada suatu kondisi baru. Di era revolusi industri 4.0 ini, teknologi dan informasi membawa budaya yang sebelumnya hanya bisa disaksikan secara langsung kini bisa dikenal secara lebih luas.
"Teknologi memang mengubah perilaku kita, tapi perubahan ini harus ke arah yang positif," ujar Akhmad.
Ia mencontohkan, hadirnya teknologi saat ini membuat segala bentuk informasi menjadi mudah diakses dan jumlahnya sangat banyak. Bahkan ketika masuk ruang digital, ia mengutip dari Kompas bahwa informasi di ruang digital itu seperti labirin.
"Di labirin ini kita bisa masuk tapi tidak tahu bagaimana untuk keluar, kita masuk tapi tidak tahu apa yang akan dilakukan. Oleh sebab itu, untuk melangkah pasti di tengah labirin informasi diperlukan literasi digital," imbuh Akhmad.
Yang dimaksud dengan literasi digital di sini adalah kecakapan individu dalam mengakses teknologi serta mengoperasikannya dengan tujuan yang baik. Dalam program nasional literasi digital yang diusung pemerintah Indonesia, literasi digital diarahkan untuk mendukung percepatan transformasi digital menuju masyarakat yang cakap digital.
Literasi digital merupakan persiapan dalam menghadapi perubahan teknologi yang semakin berkembang dan akan menggeser perilaku-perilaku sosial masyarakat.
"Perubahan ini harus dihadapi. Budaya boleh berubah tapi prinsip budaya kita, Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika, tidak boleh ditinggalkan meski memasuki ruang digital. Ruang digital memberikan ruang bagi budaya lokal dengan berbagai keragamannya untuk merawat perbedaan," tambahnya.
Selain itu, budaya digital juga menciptakan inklusivitas dan merangkul semua golongan, namun tetap dengan menjaga hak-hak digital penggunanya. Budaya digital juga menuntut sikap positif untuk cerdas berekspresi, mengelola data dan informasi publik maupun pribadi.
"Jika hal-hal itu diterapkan, ancaman berupa hoaks, pinjaman online, intoleransi, pornografi, kekerasan, rasisme, dan radikalisme tidak akan terjadi. Oleh sebab itu diperlukan kolaborasi antara anak muda dan teknologi informasi dalam memproduksi hal positif dan produktif di ruang digital," papar Akhmad Ramdhoni.
Dari segi keamanan digital, Muhammad Yusuf (dosen Universitas Sains Alquran Wonosobo) dalam pemaparan materinya menyampaikan, pandemi telah membuat masyarakat beralih ke media digital termasuk di dunia pendidikan. Namun dalam aktualisasinya, masyarakat juga perlu membekali diri dengan kemampuan untuk menjaga keamanan saat bermedia digital.
Pendidikan di era digital menuntut pendidik dan peserta didik jeli dalam menggunakan media digital. "Sebagai pendidik harus mampu memberikan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Memproduksi dan berkolaborasi menciptakan hal positif. Mampu membagikan keterampilan dengan menggunakan media dan akses informasi, serta mampu memberikan penilaian etis. Sebab guru memiliki tanggung jawab sosial di dunia digital sebagai warga digital," papar Muhammad Yusuf.
Kegiatan yang dipandu oleh Fernand Tampubolon juga menghadirkan dua pemateri lain yang cakap di bidangnya yaitu Sudarman (staf ahli komite I DPD RI, Yanuar D. Saputra (pengajar madrasah Purbalingga, serta key opinion leader Rinni Wulandari (penyanyi). Seluruh materi disampaikan dengan menarik benang dari empat pilar literasi digital: digital skill, digital safety, digital culture, dan digital ethics. (*)
Post a Comment