Tak Cukup Cakap Digital, Perlu Kolaborasi untuk Hapus Stereotype Negatif Perempuan
SRAGEN: Sejak zaman dahulu, untuk memperoleh segala hak kesetaraan di dalam keluarga, perempuan cenderung dinomorduakan dibanding laki-laki. Diawali dengan hak untuk mendapatkan pendidikan. Apabila ekonomi orangtua tidak mampu, saat diminta memilih mana yang mesti disekolahkan, maka orangtua akan mendahulukan anak lelaki untuk sekolah ketimbang anak perempuan.
”Itu karena ada stereotype negatif sejak dulu bahwa perempuan identik dengan urusan dapur, sumur, dan kasur,” begitu picu pembuka diskusi oleh Riri Khoiroh, aktivis perempuan dan mantan Komisioner Komnas Perempuan, saat tampil dalam webinar bertajuk ”Menyikapi Kesenjangan Digital Antar Gender dan Kelas Sosial” yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk warga Kabupaten Sragen, 23 Juni lalu.
”Makanya, pendidikan menjadi hak nomor dua buat anak perempuan. Dan, hal itu kini berpengaruh terhadap hak perempuan juga dalam mengakses perangkat digital. Buat anak laki-laki, bermain di warnet di masa awal transformasi digital itu lumrah dan biasa. Tapi buat perempuan, itu tabu, ’Ah, anak perempuan kok blusukan ke warnet’. Ini berpengaruh, sehingga terjadi kesenjangan akses perempuan pada dunia digital saat ini,” ungkap Riri.
Namun, Riri kemudian memastikan, situasi kini telah jauh berubah. Utamanya sejak muncul teknologi smartphone yang membuat akses digital antara perempuan dan laki-laki sama mudahnya. Perjuangan perempuan mengakses dan meningkatkan kecakapan digital kini bisa disetarakan dengan laki-laki.
”Saat ini perempuan tidak cuma banyak yang masuk parlemen dan beragam profesi lainnya. Data terbaru 2021, banyak emak-emak kini jago bermain beragam platform penjualan dan sukses menjual beragam produk ekonomi digital. Tidak heran, banyak emak-emak kini menjadi pesaing di berbagai e-commerce papan atas omzet penjualannya. Itu bukti, perempuan bisa menyetarakan hak digitalnya dalam mengakses internet untuk menghidupi keluarga,” ungkap Riri.
Namun, Riri Khoiroh mengingatkan, meski sudah berhasil menyetarakan akses digital dan beragam hak lain dengan laki-laki, tapi perjuangan untuk memulihkan stereotype perempuan yang negatif belum berakhir. Masih menurut Riri, meningkatkan kecakapan digital itu merupakan keharusan dari perubahan zaman. Tapi untuk menghapus stereotype negatif, perempuan perlu berkoalisi, misalnya untuk meningkatkan wawasan para jurnalis dan content creator televisi.
”Sampai sekarang, banyak berita televisi dan sinetron yang masih terus men-stereotype-kan perempuan tak jauh dari urusan dapur, sumur, dan kasur. Wawasan itu perlu diperbaiki agar stereotype perempuan modern bisa lebih positif dan menginspirasi perempuan lain: lebih maju, kreatif dan pasti ber-stereotype positif,” pesan Riri serius.
Riri tidak tampil sendiri dalam webinar yang dimoderatori Harry Perdana dan diikuti ratusan peserta lintas profesi itu. Tampil pula sebagai narasumber: Puji F. Susanti (womenpreneur dan public speaker), Arif Hidayat (dosen Universitas Negeri Semarang), Andhika Rendra Pribadi (konsultan dari Kaizen Room), serta Mohwid, mahasiswa doktoral yang tampil sebagai key opinion leader.
Dalam paparannya, Arif Hidayat berpendapat, perjuangan perempuan terkait kesetaraan kecakapan dalam dunia digital juga mesti dibarengi dengan perjuangan kesetaraan di dunia nyata. Realitas di parlemen Indonesia, kata Arif, 8 dari 10 anggota parlemen masih laki-laki, 25,3 persen perempuan Indonesia hingga kini (2020) masih melahirkan di usia 20 tahun, dan 18,7 persen perempuan belum mendapat akses kesehatan yang layak.
”Hak itu mestinya juga perlu ditingkatkan kesetaraannya. Dan, meski banyak emak-emak yang jago cari uang lewat beragam platform digital, namun selama pandemi, kemajuan keterampilan wanita itu justru memicu tingkat perceraian antara suami-istri. Catatan Kementerian Agama, angka perceraian naik sampai tiga kali lipat. Jujur, kondisi peningkatan kesetaraan gender ini dampaknya sama-sama tidak kita inginkan,” ungkap Arif serius.
Sementara itu, Andhika Rendra Pribadi dari Kaizen Room mengatakan, beragam aplikasi digital yang kolaboratif banyak ditawarkan oleh Google dan platform lain, tidak lain dimaksudkan untuk meningkatkan kerja sama kolaboratif – termasuk antara kaum lelaki dan perempuan – untuk maju dan mencari rezeki bersama.
”Dunia digital sudah merancang kolaborasi agar kaum lelaki dan perempuan bisa maju bersama dan mencari rezeki bersimbiosis dan kolaboratif dalam bingkai saling pengertian,” jelas Andhika. (*)
Post a Comment