Strategi Membangun Kecakapan Digital bagi Pengajar
BANYUMAS: Tak bisa dimungkiri, cepatnya arus informasi di era internet ini membuat sebagian warganet kehilangan etika, bahkan identitas ketimurannya.
Saat warganet lupa akan identitasnya itu, maka etika berinternet pun terpinggirkan dan dampak negatif mulai muncul dalam berbagai rupa mewarnai dunia digital.
"Jangan sampai kita ikut terseret dan terjerumus dalam tindakan tanpa etika di dunia maya, agar tak menjadi masalah di kemudian hari yang akhirnya merepotkan diri sendiri," kata Kepala MTsN 5 Sragen Muawanatul Badriyah, saat hadir sebagai narasumber dalam webinar literasi digital bertajuk "Strategi Membangun Kecakapan Digital bagi Pengajar" yang digelar Kementerian Kominfo dan Debindo untuk warga Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Jumat (23/7/2021).
Muawanatul mengajak warganet kembali memahami etika berinternet yang sehat atau sering disebut netiket. Netiket ini berfungsi sebagai filter diri, menepis berbagai potensi buruk yang menjadi wajah lain teknologi informasi.
"Netiket atau netiquette menjadi panduan kita berperilaku sesuai kaidah norma lingkungan internet. Kalau netiket ini dipatuhi, membantu kita juga berinteraksi tanpa takut mengalami masalah atau salah pengertian dengan orang lain," kata Muawanatul dalam webinar yang menghadirkan narasumber Septa Dinata (peneliti Paramadina Public Policy Institute), Muhammad Taufik Saputra (Trainer and Facilitator Management Bussiness), dan Andrey Ferriyan (Direktur IT Atsoft) itu.
Muawanatul menegaskan, kita semua tetap manusia bahkan saat dalam internet sekalipun. Maka ikutilah aturan sesuai dunia nyata.
"Karena pengguna internet beragam, dari mana-mana, berbagai latar suku, ras, agama, sosial dari seluruh penjuru dunia," ujarnya. Sebagai pengguna internet, Muawanatul meminta selalu ingat bahwa orang yang membaca postingan juga sesama manusia yang memiliki perasaan yang bisa saja terluka, tersinggung, dan marah.
Muawanatul menyebut jika pengguna internet merupakan orang-orang yang hidup dalam dunia anonymouse, yang tidak mengharuskan pernyataan identitas asli dalam berinteraksi.
"Bisa dibilang, netiket ini kalau di kehidupan nyata kita sehari-hari adalah tata kramanya, sopan santunnya, yang mempengaruhi hubungan sosial satu dan lainnya," kata Muawanatul.
Lalu, bagaimana membangun perilaku seperti dituangkan dalam netiket itu? Muawanatul mengatakan, media digital memiliki kekuatan luar biasa untuk membentuk karakter penggunanya, maka perlu dilengkapi dengan literasi yang baik.
Literasi ini untuk memahami bahwa ada segudang netiket yang berlaku secara tak tertulis namun harus dijalankan. Misalnya, membatasi informasi yang kita sampaikan khususnya hal yang bersifat privasi individu diri sendiri atau orang lain yang menyebabkan pencemaran nama baik secara individu maupun kelompok.
Selain itu juga berupaya menghindari personal attack dengan tidak mengungkap di ruang umum atau privat digital soal kelemahan orang lain.
"Pemilihan konten internet dengan bijak, sehingga internet benar-benar dimanfaatkan secara positif misalnya tidak untuk mengakses konten yang berbau SARA dan pornografi," tegasnya.
Dari sudut pandang lain, Septa Dinata mengatakan, internet ibarat media yang tak memiliki tombol untuk menghapus. Apa pun yang sudah telanjur terposting dan diketahui luas, akan sulit hilang jejak digitalnya. Sebab, pihak lain bisa meng-capture dengan cepat postingan itu dan menyebarkannya secara luas.
"Maka, selalu berpikirlah dua kali dan berhati-hati sebelum memposting atau membagikan sesuatu yang sifatnya sensitif," tutur Septa, mewanti-wanti. (*)
Post a Comment