Moderasi dan Penanaman Nilai-nilai Keagamaan melalui Online
Wonogiri – Kementerian Agama Republik Indonesia merumuskan pengertian moderasi beragama sebagai cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum, berlandaskan prinsip adil, berimbang dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa.
”Secara kamus, istilah ’moderasi’ berarti pengurangan kekerasan atau penghindaran keekstreman,” ujar Kepala Madrasah Aliyah Negeri 2 Kudus Shofi pada webinar literasi digital bertajuk ”Moderasi dan Penanaman Nilai-Nilai Keagamaan melalui Online” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, Senin (19/7/2021).
Selain Shofi, diskusi virtual yang dipandu oleh moderator presenter Vania Martadinata itu juga menampilkan narasumber Ardiansyah (IT Consultant), Isharsono SP (Praktisi Digital Marketing, Founder Istar Digital Marketing Center), Slamet Budiyono (Kepala Madrasah), dan artis Ade Ayu Sudrajat selaku key opinion leader.
Shofi mengatakan, ada empat atribut dalam moderasi beragama. Masing-masing ialah: komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, serta akomodatif dan inklusif. Keempat atribut tersebut, ada pula yang menyebutnya sebagai indikator moderasi beragama.
Komitmen kebangsaan, menurut Shofi, ialah kesadaran warga negara untuk menerima keterikatan dirinya atas dasar keyakinan terhadap Pancasila sebagai landasan hidup, moral, dan sikap.
”Hal itu mencakup: menghargai dan menjiwai identitas nasional; menghargai dan menindaklanjuti perjuangan para pahlawan; mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan golongan; berpartisipasi aktif dalam upaya mewujudkan integrasi nasional,” jelas Shofi.
Adapun toleransi, lanjut Shofi, adalah sikap untuk memberi ruang dan tidak mengganggu hak orang lain untuk berkeyakinan, mengekspresikan keyakinannya, dan menyampaikan pendapat. Contohnya, menghargai dan mengapresiasi perbedaan agama, ras, suku, budaya, dan golongan serta terbuka dan mengapresiasi kesetaraan gender.
Sikap anti kekerasan, yakni menolak tindakan seseorang atau kelompok tertentu yang menggunakan cara-cara kekerasan dalam mengusung perubahan yang diinginkan. Moderasi beragama juga tidak membenarkan adanya kekerasan baik secara verbal maupun fisik.
Indikator akomodatif, imbuh Shofi, merupakan wujud dari sikap kesediaan untuk menerima, mempertahankan, mengaktualisasikan tradisi, budaya lokal, dan ide-ide baru dalam perilaku keagamaannya, sejauh tidak bertentangan dengan pokok ajaran agama.
”Atribut ini mencakup: komitmen untuk mempertahankan kearifan lokal (local wisdom); komitmen untuk menyempurnakan diri dengan mengadopsi ide-ide baru yang positif; terbuka dan apresiatif terhadap amaliyah keagamaan yang berbeda,” papar Shofi.
Narasumber berikutnya, Kepala Madrasah Aliyah Negeri 1 Surakarta Slamet Budiyono, memahami moderasi beragama melalui definisi konseptual sebagai cara pandang, sikap dan perilaku selalu mengambil posisi di tengah-tengah, selalu bertindak adil, dan tidak ekstrem dalam beragama.
”Istilah bahasa Inggrisnya 'moderation': sikap sederhana, sifat sedang, sikap tidak berlebih-lebihan. Jadi tidak ekstrem kiri (liberal), atau ekstrem kanan (ultra konservatif yang kaku). Atau bahasa Arabnya ”wasathiyah” (di tengah-tengah),” ujar Slamet Budiyono.
Terkait aktualisasi moderasi beragama di era digital, kata Slamet, Islam mengajarkan adanya ”tabayyun” sebagai kunci sekaligus solusinya. Pengertian tabayyun, sambung Slamet Budiyono, adalah menyeleksi informasi atau berita dengan melakukan cek dan ricek, memverifikasi, dan mencari kebenaran dari informasi tersebut. Atau mencari kejelasan tentang sesuatu hingga jelas dan benar keadaannya.
”Jika dapat informasi jangan langsung sebar sebelum diverifikasi dan proses tabayyun. Pastikan aspek sumber informasinya, kebenaran konten muatannya, dan konteks tempat, waktu serta latar belakangnya. Caranya, bertanya kepada sumber informasi atau ke pihak yang punya otoritas” jelas Slamet.
Slamet menambahkan, setiap muslim yang bermuamalah melalui media sosial diharamkan untuk: melakukan ghibah, fitnah, namimah, dan penyebaran permusuhan; melakukan bullying, ujaran kebencian, dan permusuhan atas dasar SARA; menyebarkan hoaks dan kabar bohong; menyebarkan pornografi dan kemaksiatan.
”Bahkan jika Anda menyebarkan konten yang benar, tapi tidak sesuai tempat dan atau waktunya, itu juga haram hukumnya,” tegas Slamet. (*)
Post a Comment